TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan ada dua risiko yang membayangi perekonomian pada 2019. Salah satunya adalah dinamika harga minyak dunia.
Baca: Sri Mulyani: Kerugian Akibat Bencana Alam Rp 22 Triliun per Tahun
"Karena sanksi terhadap Iran, sekarang harga minyak US$ 85 per barel, kita terus very vigilant terhadap oil price," ujar Sri Mulyani di Hotel Raffles, Jakarta, Rabu, 3 Oktober 2018.
Sri Mulyani mengatakan gejolak harga minyak itu perlu terus dipantau lantaran sangat berdampak ke perekonomian Indonesia, baik di sektor riil, produk domestik bruto, subsidi, hingga neraca pembayaran.
Kenaikan harga minyak dunia berlangsung sangat cepat. Pada saat mendesain Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2018, harga minyak diproyeksikan berada pada level US$ 48 per barel.
"Saya ingat mengajukan US$ 55 per barel, lalu direvisi menjadi US$ 50 per barel. Lalu saat diskusi bersama DPR, mereka tidak yakin harga minyak di atas US$ 50 sehingga direvisi ke US$ 48 per barel," ujar Sri Mulyani.
Ternyata, kata Sri Mulyani, memasuki 2018 harga minyak melonjak tinggi. Bukan hanya minyak, sejumlah komoditas juga mengalami koreksi. Kenaikan harga itu lantas menimbulkan dinamika ekonomi.
Sebabnya, Indonesia cukup banyak mengimpor minyak untuk kebutuhan dalam negeri. Walau, di sisi lain, para pelaku ekonomi Indonesia yang bergerak di bidang komoditas akan menikmati kenaikan harga tersebut.
Di samping dinamika harga minyak, risiko yang patut diwaspadai adalah berlanjutnya tensi perang dagang antara Amerika Serikat dan Cina. Penyesuaian-penyesuaian kebijakan ekonomi yang dilakukan dua negara dengan perekonomian terbesar itu, menurut Sri Mulyani, bakal menimbulkan gejolak global.
Untuk itu, ujar Sri Mulyani, perekonomian Indonesia mesti terus memantau dinamika-dinamika yang terjadi itu sembari melakukan penyesuaian kebijakan. "Kuncinya adalah adjustment," kata Sri Mulyani. Ia menargetkan pertumbuhan ekonomi 2019 mencapai 5,4 persen.