TEMPO.CO, Jakarta - Pergerakan nilai tukar rupiah kembali menjadi sorotan setelah sempat menembus Rp 15,000 per dolar AS yang merupakan rekor terendah sejak krisis moneter tahun 1998. Senior Portofolio Manager Equity PT Manulife Asset Management Indonesia Samuel Kesuma mengatakan, Rp15.000 adalah level psikologis yang terakhir kali terjadi pada krisis moneter Indonesia 20 tahun yang lalu.
Baca juga: Dolar AS Menguat, Kurs Rupiah Bergerak ke Level 15.075
Hal ini menurutnya menimbulkan trauma tersendiri dan membuat masyarakat cenderung panik. Namun perlu dipahami bahwa Rp 15,000 per dolar AS saat ini berbeda dengan 1998, terutama jika dilihat dari beberapa indikator makro ekonomi.
"Meskipun secara nominal sama, besaran pelemahan Rupiah saat ini sangat berbeda dibandingkan 20 tahun lalu. Pada 1998 rupiah sempat terdepresiasi lebih dari 200 persen, sementara tahun berjalan 2018 rupiah melemah di kisaran 10-12 persen," katanya dalam riset, Rabu, 3 Oktober 2018.
Perbedaan lain menurutnya adalah dari sisi utang pemerintah, di mana beban saat ini jauh lebih rendah sebesar 32 persen terhadap PDB, dibandingkan 1998 di kisaran 87,4 persen terhadap PDB. Selain itu, tingkat inflasi juga berbeda.
Berdasarkan IMF, rata- rata inflasi pada 1998 mencapai 58 persen dan target inflasi tahun ini di kisaran 2,5-4,5 persen. Cadangan devisa juga semakin meningkat. Per Juli 2018, cadangan devisa mencapai US$118,3 miliar dibandingkan dengan US$19,5 miliar pada bulan yang sama 1998.
"Kami menilai pelemahan saat ini bukan semata-mata disebabkan faktor fundamental domestik, tapi justru sentimen eksternal seperti ekspektasi agresif kenaikan suku bunga The Fed serta kekhawatiran contagion effect krisis ekonomi Turki dan Argentina," katanya.
Sejauh ini salah satu upaya pemerintah dalam menjaga stabilitas nilai tukar rupiah adalah lewat pengendalian impor guna memperbaiki defisit pada neraca berjalan. Kebijakan yang ditempuh adalah implementasi B20, menunda proyek infrastruktur, dan menaikkan PPh tarif impor.
BISNIS