TEMPO.CO, Jakarta - PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau Inalum berencana untuk menerbitkan global bond atau surat utang berskala global untuk melunasi transaksi peralihan 51,23 persen saham PT Freeport Indonesia ke perusahaan tersebut. Inalum memiliki batas waktu selama enam bulan untuk menyelesaikan seluruh proses transaksi yang mencapai US$ 3,85 miliar.
Baca: Inalum Kuasai 51 Persen Saham, Bos Freeport McMoRan Sebut Happy
"Kami cari yang paling murah, tunggu harganya aja," kata Direktur Utama Inalum Budi Gunadi Sadikin selepas acara penandatanganan Sales and Purchase Agreement (SPA) yang dilakukan hari ini antara Inalum, Freeport McMoRan Inc, dan PT Rio Tinto Indonesia di Gedung Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jakarta Pusat, Kamis, 27 September 2018.
Menurut Budi, penerbitan global bond akan dilakukan segera karena target penyelesaian transaksi sekitar dua bulan lagi, yaitu November 2018. Jika global bond terjual, maka Inalum akan langsung membayar pinjaman kepada 11 perbankan yang lebih dulu mendanai transaksi.
Sebelumnya, peralihan saham dinyatakan sah setelah adanya penandatanganan Sales and Purchase Agreement (SPA). SPA adalah kontrak hukum yang mewajibkan pembeli untuk membeli dan penjual untuk menjual produk atau layanan. SPA sudah biasa dilakukan dalam bisnis. Kesepakatan itu dilakukan oleh kedua belah pihak sebelum menutup kesepakatan atau pembayaran.
Untuk penyelesaian transaksi hari ini, Inalum mengandalkan dana sindikasi dari 11 bank asing yang dipimpin oleh bank asal Jepang, The Bank of Tokyo-Mitsubishi UFJ Ltd. Dari total US$ 3,85 miliar, sebanyak US$ 3,5 miliar untuk hak partisipasi (participating interest/PI) Rio Tinto sebesar 40 persen saham di Freeport Indonesia dan US$ 350 juta untuk 5,6 persen saham Freeport-McMoRan Inc.
Menurut Budi, proses yang paling membutuhkan waktu sebenarnya bukanlah masalah jadwal pembayaran dana US$ 3,85 miliar, tapi lebih pada pengurusan dokumen serta persyaratan administrasi lainnya. Sebab, kata dia, Freeport merupakan perusahaan global yanh beroperasi di puluhan negara. "Jadi kalau perusahaan besar mau lakukan transaksi, harus ada izin atau aprroval merek," tuturnya.
Baca: Sah! Inalum Kuasai 51 Persen Saham Freeport Indonesia
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM, Bambang Gatot Ariyono mengatakan proses penyelesaian transaksi senilai US$ 3,85 miliar diharapkan bisa lebih cepat dari target bulan November 2018. Setelah itu, barulah ESDM akan menerbitkan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) sehingga Freeport Indonesia kembali beroperasi. "Setelah persoalan dana selesai," ujarnya.