TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Jenderal Minyak dan Gas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Djoko Siswanto enggan berkomentar banyak soal penahanan mantan Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan pada Senin, 24 September 2018. Karen ditahan setelah menjalani pemeriksaan dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi investasi perusahaan di Blok Baster Manta Gummy (BMG) Australia pada 2009.
Baca juga: Arcandra Jawab Kritik Penyerapan Minyak Lokal oleh Pertamina
"Itu bukan urusan saya, itu masalah hukum," ujar Djok di Hotel Pullman, Jakarta, Selasa, 25 September 2018
Namun, Gatot menyampaikan sejumlah catatan bila kemudian hari ada perusahaan nasional hendak berinvestasi di sektor minyak dan gas di luar negeri. Menurut dia, hal terpenting adalah pemeriksaan kelayakan. "Ke depan kalau mau investasi, harus soon, due dilligence-nya diperiksa," kata Djoko.
Menurut Djoko, ada sejumlah hal yang mesti dipastikan terlebih dahulu. Contohnya, besaran jumlah cadangan dari lapangan yang dibidik dan sertifikatnya seperti apa. Selain itu, perlu diketahui sudah berapa lama lapangan itu berproduksi.
"Kita harus ngerti bahwa maksimum dari cadangan itu yang bisa kita produksi kita kira-kira harus punya keyakinan itu 40 persen," ujar Djoko.
Di samping itu, produksi terakhir lapangan incaran juga perlu dipastikan sebelum memutuskan untuk berinvestasi. Kepastian produksi bisa dilihat melalui tekanannya yang terukur di blok tersebut. Harus dipastikan apakah tekanan itu masih primary production, secondary, atau sudah tertiery.
"Harus dicek ke lapangan, diukur langsung masing-masing sumurnya," kata Djoko. Kalau data itu sudah ada, langkah selanjutnya adalah dibahas di dalam negeri bersama tim, sembari menunggu persetujuan manajemen. "Kalau ini oke, firm jalan."
Karen Agustiawan ditahan setelah menjalani pemeriksaan selama lebih kurang 5 jam di Gedung Bundar, Kejaksaan Agung. Ia sebelumnya diduga terlibat dalam kasus dugaan korupsi investasi yang terjadi pada 2009.
Pertamina melalui anak perusahaannya, PT Pertamina Hulu Energi (PHE), melakukan akuisisi saham sebesar 10 persen terhadap ROC Oil Ltd, untuk menggarap Blok BMG.
Perjanjian dengan ROC Oil atau Agreement for Sale and Purchase -BMG Project diteken pada 27 Mei 2009. Nilai transaksinya mencapai US$31 juta. Akibat akuisisi itu, Pertamina harus menanggung biaya-biaya yang timbul lainnya (cash call) dari Blok BMG sebesar US$ 26 juta. Melalui dana yang sudah dikeluarkan setara Rp 568 miliar itu, Pertamina berharap Blok BMG bisa memproduksi minyak hingga sebanyak 812 barrel per hari.
Ternyata Blok BMG hanya menghasilkan minyak mentah untuk PHE Australia Pte Ltd rata-rata sebesar 252 barel per hari. Pada 5 November 2010, Blok BMG ditutup setelah ROC Oil memutuskan penghentian produksi minyak mentah. Alasannya, blok ini tidak ekonomis jika diteruskan produksi. Investasi yang sudah dilakukan Pertamina akhirnya tidak memberikan manfaat maupun keuntungan dalam menambah cadangan dan produksi minyak nasional.
Hasil penyidikan Kejaksaan Agung menemukan dugaan penyimpangan dalam proses pengusulan investasi di Blok BMG. Pengambilan keputusan investasi tanpa didukung feasibility study atau kajian kelayakan hingga tahap final due dilligence atau kajian lengkap mutakhir. Diduga direksi mengambil keputusan tanpa persetujuan Dewan Komisaris. Akibatnya, muncul kerugian keuangan negara cq Pertamina sebesar US$ 31 juta dan US$ 26 juta atau setara Rp 568 miliar.
Simak berita tentang ESDM hanya di Tempo.co
CAESAR AKBAR | RYAN DWIKY