TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Ilham Oetama Marsis angkat bicara soal dana talangan sebesar Rp 4,9 triliun dari pemerintah untuk menutup defisit Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan atau BPJS Kesehatan . Ia menilai dana talangan itu tidak akan menyelesaikan masalah karena hanya solusi jangka pendek.
Baca: Angka Defisit BPJS Kesehatan Melonjak, Apa Saja Penyebabnya?
Dari perhitungan IDI, kata Ilham, BPJS Kesehatan hingga akhir tahun ini ditaksir bakal merugi hingga Rp 16,5 triliun. "Sedangkan bail out pemerintah itu Rp 5 triliun, berarti ada kekurangan Rp 11,5 triliun yang tentunya akan berulang kembali defisit anggaran berjalan," katanya seusai bertemu dengan Presiden Joko Widodo atau Jokowi di Kantor Presiden, Jakarta, Senin, 24 September 2018.
Ilham berujar defisit terjadi karena adanya mismatch antara pembayaran dan pengeluaran serta tidak adanya sinkronisasi dalam membuat kebijakan dan transparansi anggaran antara BPJS, Kementerian Kesehatan, dan IDI. Jokowi, kata Ilham, berjanji akan mencari jalan keluar terbaik.
Untuk mengatasi mismatch ini, IDI mengusulkan khusus untuk pasien kategori nonpenerima bantuan iuran (PBI) dan nonpekerja bukan penerima upah (PBPU) dinaikkan alias yang berasal dari kalangan mampu dinaikkan premi BPJS Kesehatannya. "Premi yang aktual seharusnya itu jumlahnya Rp 36 ribu per orang," tuturnya.
Sebelumnya, Kepala Kantor Staf Presiden Moeldoko mengatakan pemerintah siap mengucurkan Rp 4,9 triliun untuk menutupi defisit BPJS Kesehatan. Menurut dia, anggaran ini sebatas untuk menutup defisit BPJS Kesehatan, bukan untuk menyelesaikan masalah utama kerugiannya. Namun ia mengklaim pemerintah sudah memiliki cara untuk menangani hal itu.
Pemerintah memang berencana memakai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk menambal defisit yang dialami BPJS Kesehatan. Hal ini sempat dibahas dalam rapat terbatas di Istana Kepresidenan, Jakarta, pada 6 Agustus lalu.
BPJS Kesehatan sebelumnya menyebutkan salah satu pemicu defisit keuangan di instansi itu adalah kenaikan jumlah pengidap penyakit kronis dari waktu ke waktu. Berdasarkan kajian Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan atau BPKP, defisit keuangan lembaga itu mencapai Rp 10,98 triliun.
Angka itu lebih rendah dari arus kas Rencana Kerja Anggaran Tahunan (RKAT) BPJS Kesehatan 2018 yang mencatat defisit sebesar Rp 16,5 triliun. Hingga Agustus 2018, pengeluaran BPJS Kesehatan untuk membiayai penyakit katastropik atau penyakit yang memerlukan biaya tinggi, komplikasi dan membahayakan jiwa, mencapai Rp 12 triliun.
Baca: Dede Yusuf: Jangan Tanggung - tanggung Kalau Kasih Infus ke BPJS
Adapun pengeluaran sebesar Rp 12 triliun itu setara dengan 21,07 persen dari total biaya pelayanan kesehatan. Padahal berbagai penyakit katastropik tersebut bisa dicegah melalui penerapan pola hidup sehat. Sementara sepanjang 2017, biaya penyakit katastropik yang dibiayai BPJS Kesehatan mencapai Rp 18,4 triliun.