TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Presiden Direktur Astra International, Theodore Permadi Rachmat, mengatakan kondisi ekonomi saat ini berbeda dengan kondisi ekonomi saat krisis pada 1997-1998. Menurut dia, perbedaannya terletak pada kondisi inflasi yang tinggi dan kondisi perbankan yang tidak sehat.
BACA: Ini Sebab Danareksa Prediksi Pertumbuhan di 2019 Bakal Terkoreksi
"Waktu itu perbankan rusak. Inflasi tinggi (sempat menyentuh 77 persen). Sekarang inflasi kita 3,2 persen. Sebelum tiga tahun terakhir, inflasi kita tidak pernah di bawah 5 persen. Itu yang penting, inflasi jangan naik," kata pria yang disapa Teddy ini ketika melakukan wawancara khusus dengan majalah Tempo, Rabu, 12 September 2018.
Sebelumnya, banyak beredar di media sosial bahwa pelemahan rupiah yang terus terjadi disebut-sebut menyamai kondisi pada krisis ekonomi 1997-1998. Kekhawatiran itu juga didorong oleh pelemahan rupiah yang terus melemah hingga ke level Rp 15 ribu per dolar AS. Misalnya, pada 5 September 2018, merujuk situs resmi Bank Indonesia, kurs jual rupiah mencapai level Rp 15.002 per dolar AS. Adapun Jakarta Interbank Spot Dollar Rate waktu itu mencatat nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mencapai Rp 14.972 per dolar AS.
BACA: Bahas Masalah Ekonomi, Prabowo Bertemu Kwik Kian Gie Malam Ini
Selain itu, kata Teddy, perbedaan kondisi ekonomi saat itu dengan saat ini berbeda karena situasi politik yang melingkupi. Menurut dia, krisis ekonomi yang terjadi pada 1998 diikuti oleh kondisi politik yang melihat Presiden Soeharto sudah terlalu lama berkuasa karena sudah 32 tahun.
Dia bercerita kondisi krisis ekonomi 1998 membuat market di Indonesia hancur. Akibatnya, banyak orang tak mampu membeli mobil dan sepeda motor yang diproduksi oleh perusahaan.
"Sekarang beda. Baru saja kami ngomong dengan para dealer sepeda motor, harga jual mereka enggak naik," kata Teddy, yang juga pendiri PT Triputra Investindo Arya yang membawahi bisnis di bidang perkebunan, manufaktur, pertambangan, dan perdagangan.
BACA: Sri Mulyani Minta Pengusaha Tak Panik Hadapi Dinamika Ekonomi
TP Rachmat juga menilai bahwa pelemahan rupiah yang terjadi saat ini memiliki efek berbeda dengan masing-masing bisnis. Jika rupiah melemah, tentu yang dirugikan adalah para importir, sedangkan yang diuntungkan adalah para eksportir. Salah satu yang dirugikan, kata Teddy, misalnya para importir mobil mewah seperti Lamborghini.
Teddy mengaku lebih senang dengan kondisi pelemahan rupiah karena lebih menguntungkan bisnisnya yang lebih banyak bergerak di bidang ekspor. Misalnya, bisnis PT Kirana Megatara, anak usaha miliknya yang hampir 100 persen ekspor karet.
"Jadi, saat rupiah melemah, saya lebih senang, ha-ha-ha.... Yang komplain dolar naik kan orang-orang Jawa saja. Orang-orang yang hidup dari perkebunan dan pertambangan di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi tertawa semua," katanya.
Teddy juga berujar, kondisi perekonomian waktu itu, terutama di masa kepemimpinan Presiden Soeharto, devaluasi sering terjadi. Karena itu, jika dibandingkan dengan saat ini, kondisi ekonomi saat ini jauh lebih baik.
TIM MAJALAH