TEMPO.CO, Jakarta - Sidang lanjutan gugatan pasien kanker payudara Juniarti Tanjung kepada Presiden Joko Widodo atau Jokowi, Menteri Kesehatan Nila Djuwita Moeloek, Dirut BPJS Fahmi Idris, dan Dewan Pertimbangan Klinis akan digelar besok. Perwakilan keluarga, Edy Haryadi (suami Juniarti) mengatakan Yuni Tanjung akan terus berjuang bersama hingga menang.
BACA: Presiden Jokowi Bagikan 8 Ribu Sertifikat Tanah di Grobogan
"Setelah sempat tertunda lima minggu karena kuasa hukum Presiden Jokowi belum bisa menunjukkan surat kuasa yang ditanda-tangani Jokowi, sidang gugatan penderita kanker payudara HER2 positif, Juniarti SH, dan suami, Edy Haryadi sebagai Penggugat, yang diwakili Tim Advokasi Trastuzumab, kepada Presiden Jokowi, Menkes Nila F Moeloek, Dirut BPJS Fahmi Idris dkk, dan Ketua Dewan Pertimbangan Klinis Prof Agus Purwadianto, kembali digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan," kata Edy dalam keterangan tertulis, Senin, 17 September 2018.
Gugatan dengan nomer perkara 532/Pdt.G.2018/PN.Jkt,. Sel itu resmi didaftarkan tanggal 27 Juli 2018 lalu. Gugatan yang dilayangkan adalah Gugatan Perbuatan Melawan Hukum oleh Penguasa atau Onrechtmatige Overheidsdaad.
Sidang lanjutan gugatan ini akan digelar pada Selasa, 18 September 2018 pukul 09.30 WIB.
BACA: Kominfo Soal Iklan Jokowi di Bioskop, Bukan Kampanye Tapi...
Edy mengatakan sengketa kasus ini berawal dari Surat Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan R Maya Armiani Rusady, Nomor 2004/III.2/2018 tanggal 14 Februari 2018 yang ditujukan kepada Kepala Cabang BPJS di seluruh Indonesia untuk menghentikan penjaminan terhadap obat trastuzumab sejak 1 April 2018. Padahal trastuzumab sangat penting untuk memperpanjang hidup penderita kanker payudara HER2 positif.
Akibatnya, kata Edy, Juniarti selaku Penggugat I, tidak bisa mengakses trastuzumab karena dia baru terdeteksi sebagai penderita kanker payudara HER2 positif pada Mei 2018. Menurur Edy kelangsungan nyawa Juniarti menjadi terancam.
Edy menuturkan setelah melalui dua kali mediasi dengan pihak BPJS, tanggal 3 Juli dan 23 Juli 2018, pihak BPJS tetap bersikeras menghentikan penjaminan terhadap trastuzumab meski mereka tahu hal itu sama saja mempermainkan nyawa Juniarti dan penderita kanker payudara HER2 positif lainnya di Indonesia yang jumlahnya 20 persen dari seluruh penderita kanker payudara. Padahal BPJS paham dan sadar bahwa kanker payudara adalah salah satu penyakit yang paling banyak merengut nyawa wanita di Indonesia dan dunia.
Karena itu, menurut Edy, pemohonan Penggugat kepada hakim dalam perkara ini adalah menyatakan perbuatan Para Tergugat termasuk Presiden Jokowi adalah perbuatan melawan hukum. Juga menyatakan Surat Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan Nomer 2004/III.2/2018 tanggal 14 Februari 2018 batal demi hukum beserta akibat hukumnya.
"Hal itu bertujuan agar penderita kanker payudara HER2 positif yang terdeteksi setelah 1 April 2018 bisa mengakses kembali trastuzumab yang sangat penting untuk memperpanjang usia penderita kanker payudara HER2 positif," kata Edy.
Terlebih penggunaan trastuzumab juga sudah diatur Menteri Kesehatan melalui Kepmenkes No. 659/2017 tentang Formularium Obat Nasional yang berlaku untuk tahun 2018. Di halaman 66 poin 43 disebutkan obat Trastuzumab harus ditanggung BPJS, khususnya bagi penderita kanker payudara HER2 positif, metastasis, (+++) seperti yang dialami Juniarti.
Apalagi, menurut Edy, aturan terbaru yang diundangkan tanggal 23 Juli 2018 oleh Kementrian Hukum dan HAM, tentang Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 22 Tahun 2018 tentang Petunjuk Teknis Restriksi Penggunaan Obat Trastuzumab untuk Kanker Payudara Metastatik pada Pelayanan Jaminan Kesehatan Nasional, yang baru ditandatangani Menkes Nila F. Moeloek tanggal 18 Juni 2018. Menurut Edy aturan itu menyatakan secara tegas trastuzumab adalah obat yang masih harus ditangung BPJS untuk penderita kanker HER2 positif, metastasis (+++) seperti yang dialami Juniarti.
"Dengan aturan baru ini, BPJS tentu kini tak bisa berdalih bahwa trastuzumab tidak efektif secara medis," kata Edy.
Baca berita tentang Jokowi lainnya di Tempo.co.