TEMPO.CO, Jakarta - Analis Binaartha Sekuritas Muhammad Nafan Aji Gusta mengatakan data neraca perdagangan per Agustus akan dinantikan oleh pelaku pasar. Menurut Nafan pelaku pasar memperkirakan masih terjadi defisit pada neraca perdagangan Agustus 2018.
BACA: Sri Mulyani Jelaskan Defisit Neraca Tahun 2018 dengan 2017
"Meskipun terjadi penurunan tingkat defisit tersebut yang diperkirakan sebesar US$ 7 juta dari sebelumnya sebesar US$ 2 miliar," kata Nafan saat dihubungi, Minggu, 16 September 2018.
Menurut Nafan, jika hasil data neraca perdagangan pada Senin sesuai dengan ekspektasi, maka hal ini akan memberikan sentimen positif bagi rupiah. Nafan mengatakan hal itu menunjukkan pemerintah berkomitmen untuk mengurangi ketergantungan impor.
Hari ini Badan Pusat Statistik atau BPS akan mengumumkan Perkembangan Ekspor dan Impor Indonesia Agustus 2018, Perkembangan Upah Pekerja/Buruh Agustus 2018, dan Indeks Perilaku Anti Korupsi Indonesia atau IPAK 2018.
BACA: Surat Utang SBR004 Kebanjiran Pesanan Hingga 7,04 Triliun
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance atau Indef Bhima Yudhistira Adhinegara juga memprediksi defisit neraca perdagangan masih berlanjut. "Proyeksi defisit perdagangan bulan Agustus 2018 diperkirakan sebesar US$ 1,1 - 1,5 miliar," kata Bhima.
Bhima mengatakan salah satu faktor yang menyebabkan defisit adalah efek perang dagang yang mulai berdampak negatif bagi neraca perdagangan Indonesia."Ekspor CPO loyo dihantam tarif 54 persen bea masuk oleh India. Ekspor manufaktur bergerak lambat karena permintaan global khususnya dari negara tujuan ekspor utama belum pulih," ujar Bhima.
Menurut Bhima, jika permintaan turun, maka harga ekspor pun ikut turun. Bhima mengatakan harga agregat ekspor produk non migas pada bulan Juli turun -2,2 persen (yoy).
Lebih lanjut menurut Bhima, Cina terus melempar ekses produksinya ke Indonesia, paska produknya dihambat masuk AS. Total impor dari Cina ke Indonesia naik 32 persen periode Januari - Juli 2018. Nilainya US$ 24,8 miliar atau 27,3 persen dari total impor non migas.
"Sebagai pasar yang besar di Asean dengan 260 juta penduduk, Indonesia adalah sasaran empuk dari eksportir negara lain," ujar Bhima.
Sementara, kata Nafan, harga minyak mentah dunia masih bergerak naik ditambah pelemahan kurs rupiah membuat impor migas akan terus melebar.
"Januari - Juli defisit migasnya tembus US$ 6,6 miliar, jauh lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yaitu US$ 4,6 miliar. Ini sudah lampu merah. Defisit perdagangan yang terus melebar bisa memperlebar defisit transaksi berjalan," kata Bhima.
Bhima mengatakan permintaan dolar dan rupiah tidak seimbang. Hal ini, menurut Bhima bisa mengakibatkan pelemahan kurs karena permintaan dolar untuk impor jauh lebih besar.