TEMPO.CO, Jakarta - Pergerakan nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada Rabu pagi bergerak melemah sebesar 45 poin menjadi Rp14.866 dibandingkan posisi sebelumnya Rp14.821 per dolar AS. Research Analyst FXTM, Lukman Otunuga di Jakarta, Rabu mengatakan bahwa mata uang rupiah kembali dipengaruhi oleh pandangan investor mengenai pasar negara berkembang secara umum, dengan perhatian khusus pada ekonomi Turki, serta meningkatnya tensi ketegangan perang dagang.
Baca: Anwar Nasution Sebut Jumlah Jamaah Haji RI Turut Lemahkan Rupiah
"Berbagai pengaruh eksternal tetap menjadi faktor utama dalam pergerakan nilai tukar rupiah. Investor terus memantau sinyal gejolak lebih lanjut untuk mata uang pasar berkembang," katanya.
Di tengah situasi itu, lanjut dia, investor cenderung menghindari aset berisiko, apalagi Presiden Amerika Serikat Donald Trump menambah tarif kepada Tiongkok. Ia menambahkan indikasi mata uang negara berkembang lainnya seperti rupee India dan rand Afrika Selatan yang melemah terhadap dolar AS dapat menahan sentimen beli terhadap mata uang pasar negara berkembang. "Dari aspek teknis, dolar AS dapat bergerak ke level Rp14.900 per dolar AS," katanya.
Saat dihubungi Rabu pagi, 12 September 2018, ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara memperkirakan rupiah masih berpotensi kembali melemah. Rupiah diperkirakan bergerak di kisaran Rp 14.820 - Rp 14.950 per dolar Amerika Serikat.
"Kemungkinan terjadi pelemahan masih besar karena investor mengantisipasi kenaikan Fed rate pada rapat FOMC (Federal Open Market Committee) pada 26 September mendatang," kata Bhima.
Menurut Bhima ketidakpastian krisis di Turki dan Argentina masih menghantui pelaku pasar, sehingga mencari aset aman, seperti dolar AS. Bhima menilai Posisi Indonesia yang berada di urutan keenam dalam asesmen terbaru Vulnerability Index Bloomberg membuat khawatir dampak krisis menjalar ke Indonesia.
Baca: Kata Ekonom Soal Anwar Nasution Anggap Fundamental Ekonomi Lemah
Dari dalam negeri, kata Bhima kebutuhan impor akan meningkat seiring persiapan memasuki musim libur panjang Natal dan Tahun Baru. "Kebutuhan impor menyebabkan defisit perdagangan melebar dan permintaan dolar naik signfikan sehingga membuat rupiah melemah," ujar Bhima.
ANTARA | HENDARTYO HANGGI