TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Anwar Nasution mengatakan fundamental ekonomi di Indonesia masih sangat lemah. Sebab, fundamental ekonomi Indonesia dianggap belum mampu menahan gejolak dari luar.
Baca: Sri Mulyani: Dinamika Krisis Argentina yang Tinggi Diwaspadai
"Bohong pemerintah itu mengatakan kalau fundamental ekonomi Indonesia kuat. Omong kosong," kata dia di dalam diskusi bertajuk "Bisakah Bersatu Menghadapi Krisis Rupiah?" di Gado-gado Boplo Menteng, Jakarta Selatan, Sabtu, 8 September 2018.
Buktinya, kata Anwar yang juga mantan ketua Badan Pemeriksa Keuangan ini, rasio penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) masih rendah yang berada di angka 10 persen. Jika dibandingkan dengan negara berkembang lainnya yang berada di angka 20 persen, rasio penerimaan pajak Indonesia hanya setengahnya. "Padahal kita udah 73 tahun merdeka. Ngapain merdeka kalo ngutang melulu, pinjam melulu," ujar dia.
Lebih jauh, Anwar menilai ekonomi Indonesia saat ini sangat rawan terhadap gejolak dari luar negeri yang menyebabkan jika bunga meningkat maka biaya pembayaran hutang di Indonesia juga meningkat. Selain itu, jika kurs meningkat juga mengakibatkan naiknya harga suatu komoditas. "Tempe, itu harganya naik karena impor kedelainya," tutur dia.
Anwar juga mengatakan lembaga keuangan dalam yang ada di Indonesia juga dinilai masih sangat lemah. Lembaga keuangan yang dimaksud yaitu bank pemerintah seperti empat bank negara (BUMN). "Maksudnya 4 bank negara ini enggak bisa lawan bank-bank seperti CIMB, Maybank dan juga Development Bank of Singapore."
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya mengatakan pemerintah mewaspadai dampak kondisi keuangan Argentina yang di ambang krisis belakangan ini. "Kami melihat dari pergerakan global tentu akan kami waspadai karena dinamika yang berasal dari sentimen Argentina sangat tinggi," kata Sri Mulyani seusai rapat di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin, 3 September 2018.
Akhir pekan lalu, Bank Sentral Argentina menaikkan suku bunga acuannya 15 persen dari 45 persen menjadi 60 persen. Kebijakan itu diambil untuk meredam krisis Argentina yang membuat nilai tukar peso mengalami terdepresiasi hingga 45 persen terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Baca: Pertumbuhan Ekonomi Kembali Minus, Afrika Selatan Masuki Resesi?
Sri Mulyani menuturkan pemerintah segera mengantisipasi gejolak ini lantaran merasa tekanan dari Argentina bakal terus berlangsung. Selain itu, hal ini kadang diperparah dengan kondisi ekonomi di negara berkembang lainnya.