TEMPO.CO, JAKARTA - Pemerintah memutuskan menunda target dan jadwal megaproyek listrik 35 ribu megawatt. Keputusan tersebut diambil sebagai salah satu strategi untuk menyelamatkan rupiah akibat dolar yang terus menguat. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan menyebutkan setidaknya 15.200 megawatt kapasitas pembangkit listrik yang akan ditunda.
Baca: Pemadaman Listrik Berkala, YLKI: Daerah Elit Tidak?
“Proyek listrik 35 ribu megawatt yang direncanakan, yang belum mencapai financial closing dan sudah digeser ke tahun setelah itu mencapai 15 ribu megawatt,” ujar Jonan pada Selasa malam, 4 September 2018.
Proyek yang digagas oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo ini semula diharapkan dapat rampung pada 2019. Megaproyek tersebut akhirnya ditunda dengan target 2021 hingga 2026. Akibatnya, kata Jonan, sejumlah proyek harus digeser lantaran estimasi pertumbuhan listrik sebesar 8 persen dari target anggaran pendapatan dan belanja negara sebesar 7 persen.
“Pertumbuhan listrik tahun ini 7 persen lebih. Pada triwulan kedua pertumbuhannya sudah mencapai 4,7 persen. Jadi estimasi kami tahun ini pertumbuhan listri maksimal hanya mencapai 6 persen. Makanya banyak proyek yang digerser,” ujar Jonan.
Dengan adanya pergeseran tersebut, Jonan menyebutkan akan menekan pengadaan barang impor. Rata-rata proyek kelistrikan komposisi tingkat komponen dalam negeri (TKDN) bisa mencapai 50 perseb lebih di beberapa proyek. Namun, setelah digeser rata-ratanya hanya mencapai sekitar 20-40 persen.
Jonan menyebutkan penundaan jadwal megaproyek kelistrikan ini bisa menggeser investasi sebesar Rp US$ 24-25 miliar. Meski investasi bekurang, kata Jonan, negara bisa menekan beban impor mencapai US$ 8-10 miliar. Nilai tersebut setara dengan Rp 149 triliun apabila kurs dolar sebesar Rp 14.900.
“Namun apa yang kami lalukan ini tidak mengurangi target pemerintah kerja target rasio elektrifikasi (RE) sebesar 99 persen pada 2019. Hari ini RE sudah mencapai 97,14 persen. Mungkin akhir tahun bisa 97,5 persen pasti tercapai,” ujar Jonan.