TEMPO.CO, Jakarta - Kalangan pengembang mengaku lebih cemas dengan kenaikan suku bunga dan pelemahan rupiah, yang berdampak negatif pada properti, ketimbang pemilihan presiden pada 2019. “Sebetulnya pilpres, pengalaman kita, tak berpengaruh. Kalau dolar dan suku bunga naik, itu baru pengaruh ke properti,” ujar Direktur Senior Ciputra Group Nanik J. Santoso, beberapa waktu lalu.
Baca: Rupiah Jeblok, Jokowi: Karena Faktor Eksternal Bertubi-tubi
Nanik mengatakan sejumlah proyek Ciputra Group tidak akan mengalami kendala dengan pemilihan umum. Pasalnya, pemilu adalah siklus lima tahun sekali yang selama ini terbukti tak banyak mengganggu bisnis properti.
Lebih jauh, Nanik juga optimistis semua proyek Ciputra Group yang berlokasi di Makassar, Sulawesi Selatan, Citra Losari, misalnya, bisa selesai akhir tahun ini. Tahun depan pun Ciputra Group akan merilis satu tower apartemen untuk mahasiswa yang dekat dengan Universitas Ciputra.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution menyatakan pemerintah menyiapkan sejumlah strategi menghadapi pelemahan kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, yang kian mendekati level Rp 15 ribu pada pertengahan hari ini. Sementara itu, Jakarta Interbank Spot Dollar Rate atau JISDOR mencatat nilai tukar rupiah mencapai Rp 14.972 per dolar AS.
Adapun Kepala Departemen Riset Savills Indonesia Anton Sitorus mengatakan kebijakan Bank Indonesia (BI) tersebut memiliki kecenderungan menambah tantangan pasar. Apalagi, kata Anton, belum terlihat kenaikan kredit pemilikan rumah (KPR) ataupun kredit pemilikan apartemen (KPA) pasca-relaksasi loan to value. "Semoga masih bisa dikendalikan. Kalau tidak, itu bisa memperlambat recovery dengan kondisi pasar properti seperti sekarang," ucapnya.
Anton berpendapat BI seharusnya perlu lebih matang mempertimbangkan kenaikan suku bunga agar tidak menghambat pertumbuhan industri properti nantinya. BI pada akhirnya memutuskan menaikkan suku bunga acuan guna menjaga daya tarik pasar di Indonesia pada pertengahan Agustus lalu.
BI menyatakan kenaikan itu bertujuan menjaga defisit transaksi berjalan atau current account defisit (CAD). Pasalnya, CAD saat ini mencapai 3 persen dari produk domestik bruto (PDB). Menurut data BI, defisit transaksi berjalan pada kuartal II 2018 tercatat mencapai US$ 8 miliar. Angka ini meningkat dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar 1,96 persen.
Baca: Rupiah Loyo, Faisal Basri Usulkan 6 Hal Ini ke Pemerintah dan BI
Angka ini juga lebih besar jika dibanding kuartal I 2018, yang hanya 2,2 persen dari PDB atau senilai dengan US$ 5,5 miliar. Untuk menguatkan rupiah, BI juga memutuskan lending facility rate menjadi 6,25 persen dan deposit rate jadi 4,75 persen.
BISNIS