TEMPO.CO, Jakarta - Pusat Penelitian Ekonomi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menemukan sejumlah permasalahan di dua Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Pariwisata yaitu Mandalika, Nusa Tenggara Barat dan Tanjung Kelayang, Kepulauan Bangka Belitung. Persoalan ini membuat pengembangan di kedua kawasan tidak berjalan dengan baik dan tidak menarik minat investor, hingga beberapa tahun setelah diluncurkan.
Baca juga: Menko Perekonomian Darmin Nasution: Penerapan KEK Batam Bertahap
Baca Juga:
Padahal, pemerintah punya target agar masing-masing KEK bisa berjalan tiga tahun setelah dibuka. KEK Mandalika dikembangkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2014 dan sudah berjalan empat tahun. Sementara KEK Tanjung Kelayang melalui PP Nomor 6 Tahun 2016 dan telah beroperasi hingga dua tahun.
"Tapi kenyataannya, kami ke sana, tampaknya masih berproses," kata peneliti Pusat Penelitian Ekonomi LIPI, Maxensius Tri Sambodo, dalam acara media briefing di Gedung Pusat LIPI, Jakarta Selatan, Selasa, 28 Agustus 2018. "Ini juga terjadi karena pemerintah tidak tahu best practisenya KEK itu seperti apa."
Persoalan KEK ini sebenarnya telah muncul dalam temuan Majalah Tempo pada Juni 2018. Saat itu ditemukan fakta bagaimana realisasi investasi di Mandalika sampai akhir 2017 hanya mencapai Rp 428,6 miliar. Angka itu jauh di bawah komitmen investasi di kawasan wisata yang besarnya Rp 13,5 triliun. Juga masih belum apa-apa dibandingkan dengan target investasinya, sebesar Rp 28,6 triliun. Sepuluh kawasan lain saat ini masih jalan di tempat.
Dari temuan LIPI, ada poin setidaknya yang menjadi masalah di dua KEK pariwisata ini. Masalah pertama karena adanya persaingan antara pemimpin menjelang pemilihan kepala daerah dan pemilihan presiden sehingga KEK berpotensi menjadi alat politik. "Apalagi oleh pemerintah daerah, KEK ini masih dianggap sebagai program pemerintah pusat," ujarnya.
Masalah kedua yaitu masih banyaknya hambatan pada proses akuisisi dan perubahan kepemilikan lahan. Peneliti LIPI menemukan di KEK Mandalika marak ditemui spekulan tanah. Sementara di KEK Tanjung Kelayang, penguasaan lahan yang sangat tinggi oleh sekelompok orang saja. "Peran Badan Usaha Milik Negara membantu mengakuisisi lahan pariwisata," kata Maxensius.
Lalu masalah ketiga yaitu terkait tata kelola yang selama ini masih tidak sejalan dengan upaya mempercepat kemajuan KEK. Saat ini, posisi administrator KEK yang ada di bawah Dewan Kawasan biasanya dipegang oleh Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PM-PTSP). Harusnya, kata Maxensius, dinas ini cukup berperan sebagai anggota Dewan Kawasan. "Ini menjadikan PM-PTSP menjadi lembaga superbody yang mampu mengatur seluruh proses perizinan investasi," ujarnya.
Dalam Majalah TEMPO edisi 23 Juni 2018, Dewan Nasional KEK menemukan pengembangan sejumlah kawasan itu molor karena pengembang sulit menguasai lahan. Masalah makin runyam ketika pihak pengusul adalah pemerintah daerah. Pemerintah daerah atau badan usaha milik daerah dianggap belum mampu menjual dan mengembangkan kawasan. "Mereka masih harus menyesuaikan diri bagaimana mendatangkan investor," ucap Wahyu Utomo, Deputi Bidang Koordinasi Percepatan Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah Kementerian Koordinator Perekonomian, yang merangkap Ketua Tim Pelaksana Dewan Nasional KEK.