TEMPO.CO, Jakarta - Krisis mata uang Turki berimbas pada masalah keuangan negara-negara berkembang di Asia, khususnya yang telah mengambil pinjaman besar untuk proyek-proyek infrastruktur di bawah jalur sutera modern yang diinisiasi Cina, One Belt and Road Initiative. Pasalnya, krisis mata uang Lira memaksa negara-negara Asia untuk mempertimbangkan kenaikan suku bunga untuk menopang mata uang mereka, tak terkecuali di Indonesia.
Baca: Bukan Cina, Ini Negara Pemberi Utang Terbesar ke RI
"Krisis ini juga menambah biaya pembayaran utang yang melemahkan stabilitas keuangan," seperti dilansir dari laporan The Center for Global Development yang dikutip oleh Nikkei Asian Review, Selasa, 21 Agustus 2018.
The Center for Global Development, yang merupakan lembaga think tank Amerika Serikat, menyebutkan pinjaman dari Cina, menurut laporan itu, membantu negara-negara berkembang untuk perbaikan dan peningkatan infrastruktur yang mereka butuhkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, Namun biaya pembayaran utang yang berat mengancam dan merusak stabilitas keuangan negara berkembang tersebut.
Depresiasi Lira terjadi akibat perselisihan hubungan ekonomi Turki - AS.
Lembaga itu menyebutkan Laos, Maladewa, Mongolia, Pakistan dan empat negara lain yang mengambil bagian dalam proyek Belt and Road China semakin terancam. Di Mongolia, misalnya, utang luar negerinya sekarang sekitar delapan kali cadangan devisa negara.
Sementara utang luar negeri Laos dan Kyrgyzstan melebihi 100 persen dari produk domestik bruto. "Negara-negara berutang sangat rentan terhadap depresiasi mata uang secara mendadak. Ketika nilai mata uang mereka jatuh, semakin sulit bagi mereka untuk melunasi utang-utang mereka, yang biasanya dibayarkan dalam mata uang dolar," tulisnya.
Kehadiran Cina yang tumbuh menjadi pemodal global mulai mengikis pengaruh lembaga Dana Moneter Internasional (IMF) yang sebelumnya telah cukup lama menjadi pemberi pinjaman bagi negara-negara di dunia. Resep kebijakannya untuk menyelamatkan negara-negara yang bermasalah secara finansial dengan syarat reformasi fiskal, yang dijuluki "Konsensus Washington" telah membentuk inti tatanan keuangan pascaperang.
Tindakan ini membantu meredam krisis mata uang Meksiko tahun 1994-1995 dan krisis mata uang Asia tahun 1997, akibat pengetatan kebijakan moneter AS. Dengan kehadiran Cina yang muncul sebagai pemberi pinjaman alternatif, beberapa negara mengalihkan dirinya dari IMF.
Turki yang menjadi episentrum gejolak keuangan saat ini, menolak bantuan IMF begitu pun dengan Pakistan. Pakistan sering menjadi penerima bantuan IMF di masa lalu, tetapi pemerintahan baru di bawah Perdana Menteri Imran Khan, yang dibentuk memiliki sikap berbeda.