TEMPO.CO, Jakarta - Asosiasi Pengusaha Indonesia atau Apindo menolak rencana baru pengaturan air oleh pemerintah dalam Rancangan Undang-Undang Sumber Daya Air atau RUU SDA. Para pengusaha mengingatkan, jika RUU SDA ini disetujui, kelangsungan bisnis sejumlah industri akan terancam, bahkan berpotensi membuat harga-harga produk meningkat.
Baca juga: RUU SDA Dinilai Ancam Bisnis Air Minum
Ketua Apindo Hariyadi Sukamdani menilai beleid ini di satu sisi memang ingin mewujudkan pemanfaatan air seluas-luasnya bagi masyarakat. Namun di sisi lain justru merusak investasi pengelolaan air, yang telah digelontorkan pengusaha di beberapa industri. "Jadi saya mempertanyakan intelektual yang membuatnya seberapa jauh, sih," katanya dalam konferensi pers di Veranda Hotel, Jakarta Selatan, Selasa, 21 Agustus 2018.
Sejak 2015, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan bernomor 85/PUU-XI/2013 menyatakan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang SDA bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Walhasil, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pun langsung merancang Undang-Undang SDA baru. Saat ini, RUU memasuki tahap pembahasan antara DPR dan pemerintah.
Hariyadi menjabarkan, setidaknya ada lima poin utama yang dipertanyakan pengusaha dalam RUU SDA ini.
1. Saat ini, aturan dari Kementerian Perindustrian mengizinkan industri menyediakan bahan baku produksi sendiri, termasuk penggunaan air baku. Namun RUU SDA ini membuat penguasaan industri terhadap akses air baku terbatas. Tak hanya industri makanan dan minuman, tapi juga sampai industri tekstil. "Padahal penggunaan air baku di industri itu hanya 2 persen saja," ujar Hariyadi.
2. Kenyataannya, pembahasan RUU SDA ini, kata Hariyadi, sama sekali tidak melibatkan Kementerian Perindustrian. Kementerian yang terlibat adalah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, serta Kementerian Dalam Negeri. Padahal industri yang terkena dampak aturan ini justru lebih banyak berkomunikasi dengan Kementerian Perindustrian.
3. Sebagai gantinya, memang RUU SDA menyerahkan urusan penyediaan air kepada badan usaha milik daerah (BUMD) hingga BUM Desa. Namun, masalahnya, peralihan pengelolaan ini akan menimbulkan biaya baru. Hariyadi meyakini pihak yang akan mengelola selanjutnya bakal memunculkan beban biaya baru bagi pengusaha. Mau tak mau, kenaikan harga pun berpotensi terjadi jika biaya produksi meningkat.
4. Toh, tanpa adanya BUMD atau BUM Desa, para pengusaha telah menggelontorkan dana investasi untuk membangun pengelolaan air baku hingga air limbah sendiri. Jadi, dengan adanya aturan baru ini, pengusaha menilai investasi tersebut akan sia-sia saja. Ke depan, kata Hariyadi, tentu pengusaha lebih memilih mengimpor air saja daripada berinvestasi, tapi dipotong di tengah jalan.
5. Selain itu, pengusaha mempertanyakan biaya konservasi alam, yang akan ditagih ke pengusaha 10 persen dari laba. Para pengusaha tidak mengetahui asal muasal angka ini. Hariyadi pun heran apakah pemerintah tidak menggabungkan saja dengan pendapatan negara bukan pajak (PNBP). "Ini dikenakan pada seluruh industri yang dapat surat izin pengambilan air (SIPA). Kalau begini, restoran pun bisa kena nantinya," ujarnya.
Staf Khusus Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Firdaus Ali mengatakan proses pembahasan RUU SDA masih terus berjalan. Semangat RUU ini sama sekali tidak bertujuan mematikan investasi. "Kami cari titik keseimbangan," ucapnya.