TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan menanggapi kritik Ketua MPR Zulkifli Hasan yang menyebut utang Indonesia mencapai Rp 400 triliun. Luhut menuturkan terkait besaran utang tersebut telah dijelaskan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani.
BACA: Utang Luar Negeri Capai Rp 4.997 T, Gubernur BI: Masih Aman
“Tapi kalau ada yang ngomong seperti di MPR mengenai utang kita Rp 400 triliun itu angkanya sudah dijelaskan sama Bu Sri Mulyani,” tutur dia di Equity Tower, Selasa, 21 Agustus 2018.
Ia meminta agar Zulkifli Hasan dapat membaca data dengan benar supaya tidak membohongi publik. “Saya pikir jangan bohongin anak-anak muda lah dengan memanipulasi data itu, jadi membaca data itu kalau gak ngerti ya jangan diomongin,” ujar dia.
Zulkifli Hasan pada Kamis 16 Agustus 2018 dalam pidatonya itu menyebut utang pemerintah yang jatuh tempo pada 2018 sebesar Rp 400 triliun tidak wajar. Menurut dia, angka tersebut tujuh kali lebih besar dari dana desa dan enam kali lebih besar dari anggaran kesehatan.
Sementara, Sri Mulyani menilai pernyataan Zulkifli bermuatan politis dan menyesatkan. Sri Mulyani lantas menjelaskan bahwa 31,5 persen pembayaran pokok utang adalah untuk instrumen Surat Perbendaharaan Negara atau Surat Perbendaharaan Negara Syariah yang bertenor di bawah satu tahun dan merupakan instrumen untuk mengelola arus kas. "Pembayaran utang saat ini adalah kewajiban yang harus dipenuhi dari utang masa lalu, mengapa baru sekarang diributkan," ujarnya.
Saat dihubungi Selasa, 21 Agustus 2018, ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengingatkan pemerintah agar mengelola utang secara produktif. Dia menilai utang pemerintah belum dikelola produktif karena proyeksi pertumbuhan utang dan pertumbuhan ekonomi yang hanya 5,3 persen pada 2019 dinilai tidak sinkron.
"Jika utang lebih tinggi growthnya dari pertumbuhan Produk Domestik Bruto itu menandakan utang kurang dikelola secara produktif,"ujar Bhima.
Rasio total utang terhadap PDB Indonesia terus naik sejak 2015. Pada Juni 2018 rasio utang terhadap PDB menginjak 29,8 persen. Rasio utang terhadap PDB memang lazim digunakan sebagai indikator batasan aman suatu negara. Dalam Undang-Undang Keuangan Negara Tahun 2003, batasan aman rasio utang terhadap PDB adalah 60 persen.
"Itu hanya sebagai indikator dasar bahwa rasio utang dibawah 60 persen terbilang aman dan produktif," ujar Bhima. Sebab, harapannya utang yang diterbitkan bisa menggerakkan sektor ekonomi sehingga PDB terus meningkat.
Berdasarkan catatan Bhima, pada saat krisis utang di Eropa pada 2013 lalu ada negara yang rasio utang terhadap PDB-nya di atas 60 persen tapi tidak dibailout oleh International Monetary Fund alias IMF karena dianggap masih aman. Di sisi lain ada negara yang rasio utangnya di bawah 60 persen tetapi malah menjadi pasien IMF.
Baca: Rasio Utang Terhadap PDB Terus Naik, Ini Rencana Sri Mulyani
"Ada anomali dalam perhitungan rasio utang sehingga diperlukan indkkator lain misalnya DSR atau debt to services ratio dan rasio kepemilikan asing di surat utang," kata Bhima. Adapun indikator DSR Indonesia kini sudah diatas 25 persen alias batas aman IMF. "Artinya besarnya utang tidak berkorelasi dengan peningkatan ekspor," ujar Bhima.
KARTIKA ANGGRAENI | CAESAR AKBAR