TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah masih menyusun strategi yang tepat mengenai kebijakan pembiayaan utang pada 2019 mendatang. Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan Risiko Kementerian Keuangan Luky Alfirman mengatakan saat ini pemerintah masih terus memantau perkembangan pasar uang yang tengah bergejolak sebelum menetapkan strategi pembiayaan utang.
Baca: Sri Mulyani Vs Zulkifli Hasan, Ini Fakta Soal Utang Pemerintah
"Kalau strategi 2019 akan kami sampaikan bulan Desember. Semuanya nanti, berapa growth issues-nya, komposisi dari rupiah non rupiah, baik lewat penerbitan sukuk maupun surat utang konvensional itu nanti kita lihat," kata Luky ketika ditemui di Gedung Bursa Efek Indonesia, Sudirman, Jakarta Selatan, Senin 20 Agustus 2018.
Dikutip dari Dokumen Nota Keuangan, pemerintah memproyeksikan rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) berada di kisaran 29,5 - 31 persen pada 2019-2022. Proyeksi kenaikan ini akibat lemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat.
Baca: Sasar Milenial, Surat Utang SBR004 Bisa Dibeli Mulai Rp 1 Juta
Salah satu cara untuk membiayai utang tersebut, pemerintah akan memprioritaskan penerbitan SBN domestik pada kisaran 70–75 persen dari total penerbitan SBN. Berdasarkan nota keuangan RAPBN 2019, pembiayaan utang dengan menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) berada pada angka Rp 386,2 triliun.
Selain itu, juga menerbitkan SBM pada tenor jangka menengah hingga jangka panjang dan melakukan penerbitan SBN valas sebagai pelengkap dalam denominasi hard currency untuk membantu memenuhi kebutuhan cadangan devisa negara.
Luky menuturkan pemerintah masih memperhatikan kondisi pasar uang termasuk volatilitas nilai tukar rupiah, dalam rangka menimbang kemungkinan penerbitan SBN dalam bentuk valuta asing. Artinya, penerbitan SBN dalam bentuk valas diprediksi akan dikurangi.
Nantinya, kata Luky, arah kebijakan ini akan menyesuaikan dengan defisit APBN 2019 yang juga berkurang. "Kan kita defisitnya sudah berkurang, tahun 2018 sebesar 2,19 persen dari outlook 2,12 persen. Tahun depan kita defisitnya 1,84 persen, maka salah satu konsekuensinya kenaikan utang pun akan berkurang," tutur dia.
Luky mengungkapkan pemerintah juga menyiapkan strategi front loading yang bakal diterapkan pada 2019. Karena itu, pemerintah masih terus mengawasi kondisi pasar pada sepanjang semester ke II 2018 yang diprediksi masih akan terus volatile. Dengan cara itu, ketidakpastian nilai tukar dan perekonomian global bisa diantisipasi.
"Sepanjang market masih volatile, sepanjang kita menghadapi uncertainty, strategi terbaik kita melakukan front loading. Pada 2019 sangat mungkin berlanjut kita mungkin masih lakukan front loading tadi," ujar Luky.
Simak berita menarik lainnya terkait utang hanya di Tempo.co.