TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani mengakui besaran utang yang harus dibayarkan tahun depan cukup besar sebanyak Rp 409 triliun. Karena itu, pengelolaan anggaran di tahun depan memiliki tantangan yang cukup berat.
Baca juga: Sri Mulyani Jawab Kritik Zulkifli Hasan Soal Lonjakan Utang
"Tahun depan yang agak berat karena banyak utang masa lalu yang jatuh tempo cukup tinggi pada 2019," ujar Sri Mulyani saat Konferensi Pers RAPBN 2019, di Media Center Asian Games 2018 Jakarta Convention Center (JCC), Kamis, 16 Agustus 2018.
Sri Mulyani menjelaskan bahwa nilai utang jatuh tempo yang harus dibayarkan tahun depan mencapai sebesar Rp 409 triliun. "Jatuh tempo tahun depan Rp 409 triliun," ujarnya.
Namun demikian, Kementerian Keuangan menjamin pemerintah akan terus berusaha menjaga rasio utang berada pada level di bawah 30 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).
Sri Mulyani mengatakan bahwa defisit anggaran akan ditutup dengan sumber-sumber pembiayaan anggaran yang mengacu pada kebijakan untuk mengendalikan rasio utang terhadap PDB dalam batas aman dan efisiensi pembiayaan anggaran agar tercapai fiscal sustainability.
Defisit anggaran pada RAPBN 2019 diperkirakan mencapai Rp297,2 triliun (1,84 persen PDB) atau turun dibandingkan outlook APBN 2018 sebesar 2,12 persen terhadap PDB.
Sementara itu keseimbangan primer terus diupayakan menurun menjadi negatif Rp 21,7 triliun dari outlook 2018 sebesar negatif Rp 64,8 triliun.
Menurutnya penurunan defisit dan keseimbangan primer tersebut menunjukkan bahwa fiskal dikelola secara hati-hati dan bertanggung jawab serta sustainable.
Sebelumnya pemerintah juga menyatakan bahwa kondisi utang negara saat ini dengan outstanding Rp 4.253,02 triliun masih pada level aman, yakni 29,74 persen terhadap PDB.
Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (PPR) Kemenkeu Luky Alfirman mengatakan bahwa realisasi pembiayaan yang dilakukan pemerintah hingga akhir Juli 2018 mencapai Rp 206,6 triliun, sebagian besar berasal dari pembiayaan utang sebesar Rp 205,57 triliun, atau mencapai 51,5 persen dari APBN 2018 sebesar Rp 399,22 triliun.
Realisasi pembiayaan utang tersebut terdiri dari penerbitan SBN (neto) sebesar Rp 221,94 triliun atau mencapai 53,5 persen dari target APBN 2018 dan pinjaman (neto) sebesar negatif Rp16,37 triliun atau sekitar 107,0 persen dari yang direncanakan.
Menurutnya, realisasi pembiayaan yang cukup besar tersebut mencerminkan diterapkannya strategi front loading oleh pemerintah yang tetap terjaga untuk mengantisipasi ketidakpastian dinamika perkembangan global dan terwujudnya pembiayaan yang lebih efisien.
Sri Mulyani mengatakan keberlanjutan fiskal pada 2018 diharapkan akan tetap terjaga. Realisasi defisit APBN hingga akhir Juli 2018 mencapai Rp 151,30 triliun atau sekitar 1,02 persen PDB. Realisasi defisit tersebut lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya, baik secara nominal maupun persentase terhadap PDB.
Sementara itu kondisi keseimbangan primer per akhir Juli 2018 yang berada pada defisit Rp4,85 triliun juga lebih baik dibandingkan periode yang sama tahun 2017 sebesar defisit Rp79,15 triliun.
"Stok utang kita sampai saat ini, per akhir Juli 2018 mencapai Rp 4.253 triliun atau dibandingkan PDB sekitar 29,74 persen," ujarnya.
Rasio utang tersebut masih lebih rendah dibandingkan posisi bulan sebelumnya yang sebesar 29,9 persen. Pihaknya berharap sampai akhir tahun 2018 akan terus melandai. "Dan akan di bawah kisaran 29,8 persen, termasuk rendah," kata Sri Mulyani.