TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjawab kritik Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Zulkifli Hasan mengenai utang negara yang disebut melambung. "Terutama masalah utang, kami sangat hati-hati dalam mengelolanya," ujar Sri Mulyani di gedung JCC Senayan, Jakarta, Kamis, 16 Agustus 2018.
Baca: Sri Mulyani Pastikan PNS Tahun 2019 Terima THR dan Gaji ke-13
Sebelumnya, Zulkifli Hasan menyebutkan bahwa utang pemerintah yang besar itu harus dikelola dengan baik. Ia juga mempertanyakan kemampuan mencicil utang pemerintah karena angkanya sudah di luar batas kewajaran.
Lebih jauh, Sri Mulyani mengatakan, data defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau APBN serta data keseimbangan primer pemerintah dari waktu ke waktu membuktikan pemerintah mengelola keuangan dengan baik.
Baca: Sri Mulyani Sindir Tunjangan Guru: Besar tapi Tak Berkualitas
Menurut bekas Direktur Bank Dunia itu, politikus acap kali mempolitisasi nominal defisit APBN. Padahal, dalam outlook 2018, defisit APBN terhadap produk domestik bruto (PDB) hanya sekitar 2,12 persen. Dalam RAPBN 2019, defisit terhadap PDB dipatok di angka 1,84 persen. "Defisit APBN diturunkan di bawah 2 persen PDB, pertama kali sejak 2013."
Sehingga, secara keseluruhan, apabila dilihat dari grafik yang ia sajikan, defisit APBN Indonesia terus mengalami penurunan terhadap PDB. Kian hari, grafik itu terus mendekati nol.
Sri Mulyani mengatakan defisit APBN pernah mencapai angka terdalam pada 2015. Saat itu, defisit APBN terhadap PDB mencapai 2,59 persen. "Saat itu negara menghadapi situasi di mana harga komoditas sedang jatuh."
Namun, setelah adanya konsolidasi, Sri Mulyani yakin defisit akan menduduki angka 1,8 persen pada 2019. Angka tersebut tercatat lebih rendah daripada titik terendah sebelumnya, yaitu 1,86 persen dari PDB pada 2012.
Selain itu, Sri Mulyani menunjukkan grafik keseimbangan primer Indonesia yang hampir mendekati nol persen. Tahun depan, defisit primer diproyeksikan hanya 0,13 persen dari PDB. Ia menyebut angka itu konsisten turun sejak 2015.
"Ini sekali lagi ingin membuktikan, kalau kita ingin mempolitisasi utang, kita juga akan bicara dalam bahasa yang sama, tidak bicara tentang nominal, tapi kita akan menggunakan rambu-rambu yang ada dan sering dipakai secara internasional untuk melihat prudent atau tidak ruginya suatu negara mengelola utang," ujar Sri Mulyani.