TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan menyetujui tambahan ekspor batu bara sebanyak 25 juta ton tanpa pengenaan Domestic Market Obligation atau DMO. Kebijakan ini diambil oleh Jonan di tengah protes yang dilayangkan sejumlah organisasi masyarakat sipil atas wacana pencabutan DMO.
BACA: Produksi Batu Bara Berisiko Membengkak Hingga 500 Juta Ton
Tapi Jonan beralasan, langkah ini perlu diambil demi memperkuat nilai tukar rupiah yang terus melemah dalam beberapa hari terakhir. Selain itu, kebijakaan ini juga diarahkan untuk penghematan dan penguatan cadangan devisa sesuai arahan Presiden Joko Widodo.
"Hitungannya, setiap 10 juta ton ekspor batu bara, maka akan ada penghematan sekitar US$ 560 juta," kata Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar menyampaikan informasi tersebut, dalam pertemuan bersama Kamar Dagang dan Industri Indonesia atau KADIN di The Westin, Jakarta Selatan, Rabu, 15 Agustus 2018.
Dengan demikian, kata Arcandra, penghematan yang bisa diperoleh diprediksi mencapai US$ 1,4 miliar atau setara Rp 20,4 triliun. Volume ekspor 25 juta ton pun hampir separuh dari volume ekspor periode Januari hingga Maret lalu yang mencapai 50,78 juta ton.
BACA: 3 Perusahaan Korea Selatan Selundupkan Batu Bara Korea Utara
DMO adalah kebijakan dari pemerintah yang mewajibkan industri batu bara menjual 25 persen dari produksinya untuk kepentingan dalam negeri. Beberapa waktu lalu, pemerintah berencana untuk menghadpur kewajiban ini namun ternyata batal.
Organisasi masyarakat sipil seperti Publish What You Pay atau PWYP dan Wahana Lingkungan Hidup atau Walhi telah menolak keras rencana pemerintah untuk mencabut aturan DMO. Menurut Peneliti PWYP Rizky Ananda, aturan DMO ini bukanlah semata-mata hanya untuk memenuhi kebutuhan pasokan batu bara bagi PT Perusahaan Listrik Negara (Persero).
"Ini adalah salah satu upaya mengendalikan produksi batu bara yang selama puluhan tahun dieksploitasi tanpa batas," kata dia dalam diskusi di Cikini, Jakarta Pusat, Rabu, 1 Agustus 2018.