TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan atau OJK Wimboh Santoso mengakui volatilitas nilai tukar rupiah dan indeks harga saham saat ini memang relatif agak tinggi. Meski begitu, fluktuasi tersebut sifatnya hanya sementara.
Baca: Rupiah Jeblok, LPEM UI: Bukan yang Terparah Dibanding Negara Lain
"Kita tahu ada volatilitas yang agak tinggi, namun demikian ini kami yakini sifatnya hanya sementara dan ini juga sudah terjadi beberapa kali, kan," ujar Wimboh saat jumpa pers di Jakarta, Rabu, 15 Agustus 2018.
Menurut Wimboh, kondisi volatilitas tinggi tersebut lebih banyak disebabkan oleh faktor eksternal terutama terkait rencana kenaikan suku bunga oleh Bank Sentral AS The Federal Reserve dan juga sentimen perang dagang antara AS dan China serta negara mitra dagang lainnya.
Baca: Perkuat Nilai Rupiah di Sektor Energi, ESDM Siapkan 5 Strategi
"Kita perlu tetap jaga bagaimana masyarakat paham bahwa ini tidak ada hubungannya dengan kondisi domestik, lebih banyak dipicu kondisi di luar diantaranya normalisasi kebijakan AS, perang dagang, dan tentunya kondisi beberapa negara yang memang lagi menderita atau mengalami volatilitas pasar dan nilai tukarnya cukup tinggi," kata Wimboh.
Nilai tukar rupiah pada awal pekan ini menembus level Rp 14.600. Rupiah ditutup melemah sebesar 124 poin menjadi Rp14.610 dibanding sebelumnya Rp 14.486 per dolar AS.
Namun, Rupiah kembali menguat seiring dengan kebijakan Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuan "7-Day Reverse Repo Rate" 0,25 persen menjadi 5,5 persen pada Rabu ini. Rupiah ditutup di level Rp 14.577 per dolar AS.
Senada dengan Rupiah, pada awal pekan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah hingga 3,55 persen atau 215,92 poin menjadi 5.861,24 seiring dengan banyaknya sentimen negatif di pasar. Hari berikutnya pun IHSG kembali melemah 1,55 persen menjadi 5.769,87. Pada Rabu ini, IHSG kembali menguat 46,72 poin atau 0,81 persen menjadi 5.816,59.
Wimboh menilai kondisi fundamental ekonomi Indonesia saat ini masih baik dan berbeda dengan Turki dengan mata uangnya, Lira, jatuh lebih dari 40 persen tahun ini menyusul kekhawatiran peningkatan kontrol ekonomi oleh Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dan memburuknya hubungan dengan AS. "Di tengah dinamika perekonomian global, indikator perekonomian kita masih positif. Stabilitas sektor jasa keuangan dan likuiditas pasar keuangan Indonesia juga masih terjaga," ujar Wimboh.
OJK pada hari ini mengeluarkan paket kebijakan untuk mendorong kinerja ekspor dan mengakselerasi pertumbuhan ekonomi nasional. Paket kebijakan tersebut diarahkan untuk meningkatkan kredit dan pembiayaan di sektor produktif sehingga meningkatkan multiplier effect terhadap pertumbuhan sektor riil dan penciptaan lapangan kerja serta mendorong ekspor.
Terkait upaya penguatan rupiah itu, dalam salah satu isi paket kebijakan yang dirilis OJK untuk mendorong ekspor dan industri penghasil devisa ada pemberian insentif bagi lembaga jasa keuangan. Lembaga jasa keuangan yang dimaksud adalah yang menyalurkan pembiayaan ke industri yang berorientasi ekspor, industri penghasil barang substitusi impor, dan industri pariwisata.
ANTARA