TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom Institute for Development of Economics and Finance atau Indef, Dzulfian Syafrian, menyebut pemerintah mesti mewaspadai kenaikan harga minyak dunia akibat krisis lira Turki dan geopolitik di Timur Tengah mengingat 2018-2019 merupakan tahun politik.
BACA: Lira Turki Menguat, Rupiah pun Diprediksi Menguat Hari Ini
"Kalau harga minyak dunia tiba-tiba meroket, besar kemungkinan Presiden Joko Widodo akan subsidi besar-besaran," ujar Dzulfian kepada Tempo, Rabu, 15 Agustus 2018. Imbasnya, defisit ganda yang tengah dialami Indonesia bakal semakin memburuk.
Saat ini, Indonesia memang tengah mengalami defisit fiskal dan defisit neraca berjalan. Defisit neraca ganda inilah yang kemudian menjadi alasan struktural dan fundamental rupiah terus melemah.
Berdasarkan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate Bank Indonesia, nilai tukar rupiah hari ini masih bertengger di level Rp 14.621 per dolar Amerika Serikat. Angka tersebut menguat tipis dari Selasa, 14 Agustus 2018, yang berada di level Rp 14.625 per dolar Amerika.
BACA: Lira Turki Hentikan Penurunan, Pasar Saham Global 'Rebound'
Sebelumnya, Bank Indonesia menyampaikan defisit neraca berjalan melebar pada triwulan kedua menjadi 3 persen. Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau APBN sampai dengan Juli 2018 sebesar Rp 151,3 triliun.
Penyebab utama defisit neraca berjalan, kata Dzulfian, adalah arus modal keluar dari Indonesia ke Amerika Serikat. "Jadi dolar balik ke kandangnya," katanya. Pelarian modal ini, menurut dia, didorong oleh terus merangkak naiknya tingkat suku bunga Amerika sebagai respons atas perekonomian yang terus membaik.
Fenomena pelarian modal ini, ujar Dzulfian, tidak hanya dialami Indonesia, tapi juga negara-negara pasar berkembang lain, misalnya Turki. Bahkan negeri kebab mengalami pelarian modal yang paling parah, tecermin dari defisit neraca berjalannya yang mencapai 5 persen dari PDB.
"Itulah mengapa mata uang Turki, yaitu lira, mengalami pelemahan paling parah terhadap dolar Amerika pada 2018 ini," kata Dzulfian. Di samping itu, ia menilai Turki melakukan blunder kebijakan dengan enggan menaikkan suku bunganya selama berbulan-bulan.
"Padahal inflasi selalu dua digit dan mata uang mereka terus melemah dalam kurun waktu belakangan," tuturnya.
Dzulfian melihat Turki memaksakan rezim suku bunga rendah karena mereka masih ingin mengundang investasi asing untuk ditanam di negeri mereka. Padahal hal ini sulit terjadi mengingat pengetatan kebijakan moneter yang dilakukan Amerika. "Jadi krisis lira ini adalah buah dari blunder kebijakan ekonomi."
Belakangan, keterpurukan lira Turki mulai mereda. Setelah selama tiga minggu terpukul keras, lira memulihkan beberapa kejatuhannya, diperdagangkan sekitar 6,37 terhadap dolar Amerika, naik hampir 8 persen dari penutupan hari sebelumnya.
Pulihnya nilai tukar mata uang Turki didukung oleh berita rencana konferensi jarak jauh, di mana menteri keuangan akan berusaha meyakinkan investor yang cemas oleh pengaruh Presiden Tayyip Erdogan atas ekonomi dan perlawanannya terhadap kenaikan suku bunga untuk mengatasi inflasi dua digit.
Namun Dzulfian menilai hal tersebut hanya akan berlangsung sesaat. "Tensi akan semakin memanas karena ada aksi balasan perang dagang dari Turki ke Amerika dengan memboikot beberapa barang Amerika," ujarnya.