TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pemerintah akan melakukan langkah drastis untuk memperbaiki transaksi berjalan yang pada kuartal II 2018 defisit 3 persen dari produk domestik bruto (PDB). Salah satunya dengan mengendalikan impor terhadap 500 komoditas.
Baca: Defisit Neraca Berjalan 3 Persen, Sri Mulyani: Kami Waspada
"Kami akan melakukan langkah drastis dan tegas untuk mengendalikan," katanya seusai rapat terbatas tentang strategi kebijakan memperkuat cadangan devisa di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa, 14 Agustus 2018.
Sri Mulyani menuturkan saat ini ia bersama Menteri Perdagangan dan Menteri Perindustrian sedang mengidentifikasi 500 komoditas yang terdiri dari barang bahan baku, konsumsi ini, serta yang memiliki potensi substitusi produk dari dalam negeri.
"Kami akan lihat, kalau permintaan melonjak tinggi dan dia tidak strategis dan dibutuhkan dalam perekonomian maka akan dikendalikan," tuturnya.
Sri Mulyani berujar pemerintah juga akan mengendalikan impor barang modal yang dilakukan Badan Usaha Milik Negara. Ia mencontohkan pemerintah akan meminta Pertamina dan PLN menggunakan tingkat komponen dalam negeri lebih banyak. "Karena ini dua BUMN yang memiliki komponen impor besar," ujarnya.
Baca: Sri Mulyani: PLN Belum Penuhi Penggunaan Komponen Dalam Negeri
Menurut dia, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral akan melihat dari sisi master list. "Semua request impor stop dulu dalam enam bulan ke depan dan dilihat kondisi neraca pembayaran kita harus membaik," ucapnya.
Langkah drastis ketiga yang akan dilakukan pemerintah adalah dengan mendorong ekspor yang dilakukan dari sisi pembiayaan, kebijakan insentif dan penetrasi pasar.
Adapun langkah terakhir pemerintah adalah implementasi B20 secara konsisten. "Seluruh perundangannya selesai dan diharapkan bisa dilaksanakan Agustus sehingga dia bisa menekan impor migas," kata Sri Mulyani.
Ia mengakui jika kebijakan pemerintah ini akan berdampak ke beberapa sektor. Namun, menurut Sri Mulyani, ini adalah langkah yang harus dilakukan pemerintah bersama dengan Bank Indonesia yang memiliki kewenangan nilai tukar.
"Bersama-sama menjaga kestabilan ekonomi Indonesia terutama pada saat menghadapi persepsi dunia luar terhadap kondisi ekonomi di negara emerging," ujarnya.