TEMPO.CO, Jakarta - Badan Koordinasi Penanaman Modal atau BKPM mencatat Penamanan Modal Asing (PMA) mengalami penurunan 12,9 persen pada kuartal kedua 2018 dibandingkan kuartal yang sama pada 2017. Namun, jika dibandingkan dengan kuartal pertama 2018 penurunan nilai investasi mencapai 12,1 persen.
BACA: BKPM Catat Realisasi Investasi Kuartal Kedua Capai Rp 176,3 Triliun
"Terlihat memang terjadi pelambatan pertumbuhan realisasi investasi. Harus diakui bahwa gejolak nilai tukar rupiah dan perang dagang Amerika dan Cina berdampak pada laju pertumbuhan investasi," kata Kepala BKPM Thomas Tri Kasih Lembong kepada awak media saat saat mengelar konferensi pers di Gedung BKPM, Jakarta Selatan, Selasa, 14 Agustus 2018.
Lembong mengatakan pelambatan investasi tersebut juga disebabkan oleh kondisi politik yang mulai menghangat pada tahun ini yang akan berlanjut pada tahun depan. Kondisi ini menyebabkan investasi tumbuh melambat karena investor cenderung wait and see.
Laju investasi yang melambat, Thomas melanjutkan, menyebabkan beberapa proyek menjadi tertunda. Meskipun tertunda, ia memastikan tidak ada pembatalan proyek yang telah diteken.
"Tentunya jangka menengah penundaan itu tidak ada dampak, karena tetap akan terealisasi, jadi ini perlu dimengerti. Tapi jangka pendek bisa terlihat sehingga berdampak pada pertumbuhan triwulanan," kata Thomas.
Merujuk data BKPM, tren 2013 hingga 2017 investasi PMA selalu cenderung menanjak pada kuartal kedua jika dibandingkan kuartal pertama. Pada kuartal kedua 2018, PMA justru turun sebesar US$ 1 milar atau sekitar 10 persen dari US$ 8,1 miliar menjadi US$ 7,1 miliar.
Adapun jika dibandingkan secara tahunan atau year on year (yoy), investasi PMA pernah tercatat menurun. Misalnya pada kuartal kedua 2015 dibandingkan pada kuartal kedua 2016 dari US$ 7,4 miliar menjadi US$ 7,1 miliar.
Tercatat dari total PMA, BKPM menyebutkan, invetasi paling banyak berada pada sektor pertambangan sebesar US$ 995,3 juta, perumahan, kawasan industri dan perkantoran sebesar US$ 962,8 juta dan sektor listrik, gas dan air sebesar US$ 898 juta. Kemudian diikuti oleh sektor industri logam, mesin dan elektronik sebesar US$ 781,1 juta serta sektor transportasi, gudang dan telekomunikasi sebesar US$ 586,3 juta.