TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia atau Apindo bidang Hubungan Internasional dan Investasi Shinta Widjaja Kamdani mengatakan Amerika Serikat tidak bisa semena-mena mengklaim. Hal tersebut merespons soal AS yang meminta organisasi perdagangan dunia atau World Trade Organization atau WTO menjatuhkan sanksi ke Indonesia senilai US$ 350 atau sekitar Rp 5 miliar terkait kebijakan hambatan nontarif produk impor dari Indonesia.
BACA: Amerika Serikat Minta Izin WTO Jatuhkan Sanksi ke Indonesia
"Sebenarnya AS tidak bisa semena-mena sepihak mengatakan 'kita mau mengklaim', tidak. Kita pasti akan appeal 15 Agustus 2018 kalau tidak salah, dan akan dibentuk panel," kata Shinta saat ditemui di Gedung Saleh Afiff Kementerian PPN/Bappenas Jakarta, Rabu, 8 Agustus 2018.
Shinta mengatakan sebenarnya soal ini sudah cukup lama di WTO, di mana permasalahan Indonesia-Amerika soal impor produk pertanian dan hubungannya dengan aturan dan regulasi di Indonesia sendiri.
Shinta mengatakan menurut pemerintah aturan tersebut sudah ada revisi sebenarnya dan beberapa peraturan termasuk yang ada di Kementerian Pertanian. "Tetapi masalahnya mungkin belum semua atau belum disubmit," kata Shinta.
Menurut Shinta, saat Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita ke AS sebenarnya juga sudah menyampaikan mengenai market access ini termasuk tentang apa saja yang sudah dilakukan. "Masalahnya, ini komplain dari ekportir Amerika karena masih terkendala dengan perizinan, maka mereka komplain," kata dia.
BACA: AS Gugat Indonesia ke WTO, Darmin: Padahal Kemarin Sudah Puas
Shinta menyatakan pemerintah perlu memberitahu lagi sampai sejauh mana pemerintah sudah merevisi, lalu jika ada yang tidak direvisi apa alasannya. Karena, kata Shinta produk yang dimasukan adalah produk yang tidak terlalu berdampak buat Indonesia kalau impor, seperti apel.
Ekonom dari California State University Long Beach, Puspa Amri, mengatakan keputusan dari WTO terkait kebijakan hambatan nontarif produk impor dari Indonesia sudah final. Melalui badan penyelesaian sengketa (Dispute Settlement Body), WTO mengabulkan gugatan Amerika Serikat dan menyatakan Indonesia bersalah.
Tapi, menurut visiting fellow di CSIS atau Centre for Strategic and International Studies ini, WTO tidak memiliki wewenang untuk menentukan bentuk hukuman. "Hanya saja pihak yang menang berhak mendapat kompensasi atas kerugian mereka," kata Puspa saat dihubungi di Jakarta, Selasa, 7 Agustus 2018.
Kekalahan Indonesia melawan Amerika ini telah diumumkan sejak November 2017. Indonesia saat itu menerbitkan 18 hambatan nontarif untuk sejumlah produk impor seperti apel, anggur, kentang, bawang, bunga, jus, buah-buah kering, hewan ternak, ayam dan daging sapi. Keputusan inilah yang dianggap diskriminasi oleh negara importir, Amerika Serikat dan Selandia Baru.
Mantan Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu mengatakan soal kasus tersebut memang sudah ada sejak dua sampai tiga tahun lalu. "Jadi ntinya ada sanksi kalau, kita tidak mengubah aturan, jadi kita harus mengubah sejumlah UU dan aturan dalam waktu tertentu," kata Mari Elka Pangestu.
Menurut Mari yang perlu dilakukan pemerintah saat ini yaitu berupaya untuk mengubah peraturan-peraturan yang diminta untuk diubah itu. "Ini suatu keputusan yang sudah diambil, kalau kita mengubah peraturan dan undang-undang, kita tidak akan kena sanksi," kata Mari Elka.
Pada Senin, 6 Agustus 2018, WTO mengumumkan adanya permintaan resmi dari Amerika Serikat. Isinya, Amerika menuntut WTO menjatuhkan sanksi US$ 350 juta atau setara Rp 5 triliun. Itu adalah nilai kerugian yang harus ditanggung Amerika karena belum adanya perubahan regulasi di Indonesia pasca putusan WTO.