TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara menyebut data kemiskinan Badan Pusat Statistik pada dasarnya valid. Hanya saja, Bhima mempunyai tiga kritik terkait data tersebut.
BACA: Sri Mulyani Sebut Kemiskinan Turun, Ekonom Pertanyakan Hal Ini
"Data BPS tentu tidak lepas dari kritik," ujar Bhima kepada Tempo, Ahad, 5 Agustus 2018.
Pertama, Bhima berujar garis kemiskinan BPS, yaitu Rp 400 ribu per kapita per bulan hanya mengambil sampel dari sisi pengeluaran, bukan pendapatan maupun aset. Sehingga, masyarakat miskin yang berhutang bisa saja pengeluarannya di atas garis kemiskinan. Padahal pendapatannya rendah.
"Jadi saran untuk BPS, harusnya membuat survey kemiskinan juga berdasarkan pendapatan dan aset agar lebih komprehensif memotret angka kemiskinan nasional," kata Bhima.
Kedua, survei kemiskinan diambil saat panen raya. Sehingga, ujar Bhima, nilai tukar petani alias NTP pun tinggi. Adapun sebagian besar penduduk miskin kini bekerja di sektor petanian. "Pertanyaannya, apakah nanti bulan September di survey berikutnya bertepatan panen raya?"
Ketiga, Bhima mengingatkan bahwa BPS adalah lembaga independen. Citra itu sempat terganggu lantaran Presiden Joko Widodo sempat menginstruksikan BPS untuk berkoordinasi dulu dengan kementerian sebelum melakukan survei. Sehingga, apabila survei dilakukan setelah cairnya dana bantuan sosial, sudah dipastikan angka kemiskinan akan turun.
"Tapi ini jadi semu karena tergantung sekali pada bansos pemerintah," ujar Bhima.
Data kemiskinan kerap disebut-sebut dalam pidato politikus menjelang pesta demokrasi Pemilu 2019. Perkaranya, kata Bhima, politikus kerap menggunakan angka kemiskinan secara sepotong-sepotong. Malahan, kata dia, politikus acapkali tak menyebut sumber data dan metode pengambilan data secara lengkap.
"Itu yang menimbulkan kebingungan," ujar Bhima kepada Tempo, Ahad, 5 Agustus 2018. Walau, Bhima menganggap kritik dengan menggunakan data kemiskinan bukan sebuah masalah. "Enggak ada masalah pakai BPS asal politikus buat laporan lengkap kalau mau kritik, jangan campur-campur."
Sebelumnya, BPS mengumumkan per Maret 2018 tingkat kemiskinan mencapai 9,82 persen. Angka kemiskinan itu turun dalam lima tahun terakhir dan akhirnya menembus single digit.
Tahun ini, penduduk di bawah garis kemiskinan turun hingga 633,2 ribu orang. Jika dibandingkan dengan tahun 2017, jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan mencapai 26,58 juta orang, per Maret 2018 penduduk miskin berjumlah 25,95 juta orang.
Namun Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto malah menyebut tingkat kemiskinan di Indonesia naik 50 persen dalam lima tahun terakhir. Ia menyebut Indonesia menjadi tambah miskin dalam lima tahun ini. Hal itu juga ditambah dengan mata uang rupiah yang terus melemah.
Adapun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui akun Twitter @SBYudhoyono, beberapa waktu lalu, menyebutkan kemiskinan di Indonesia cukup tinggi jika menggunakan standar dari Bank Dunia. Lembaga internasional tersebut memiliki kategori bahwa mereka yang memiliki penghasilan di bawah US$ 2 per hari atau sekitar Rp 864 ribu per bulan adalah kelompok masyarakat miskin.
BACA: Level Kemiskinan 1 Digit, Penduduk Rentan Miskin Masih Belum Aman
Dengan demikian, kata SBY, lebih dari 40 persen atau sekitar 100 juta masyarakat Indonesia berada di kelompok ini. Polemik muncul karena pada pertengahan bulan lalu Badan Pusat Statistik merilis bahwa tingkat kemiskinan Indonesia 9,82 persen atau terendah dalam sejarah. Belakangan Wakil Presiden Jusuf Kalla menegaskan bahwa data BPS valid adanya.