TEMPO.CO, Jakarta - Kalangan pelaku perusahaan financial technology atau fintech menyatakan pembiayaan properti sebagai salah satu sektor yang paling minim risiko. Founder PT Dana Syariah Indonesia, Taufiq Aljufri, misalnya, mengatakan hal itu tidak lepas dari karakter ideal yang dimiliki properti sebagai alat investasi, yaitu aman karena secara fisik tidak bisa dipindahkan dan secara nilai akan terus meningkat seiring waktu.
Baca: Fintech Peer to Peer Lending Salurkan Dana Rp 6 Triliun
Perusahaan yang telah terdaftar dan mengantongi izin dari Otoritas Jasa Keuangan per 8 Juni 2018 ini bergerak dalam peer to peer lending syariah dan menerapkan manajemen risiko yang ketat. Dia menjelaskan akan dilakukan verifikasi ketat atas kelayakan proyek properti yang akan dibiayai, yakni hanya proyek properti yang sudah ada pemesan atau pembelinya saja yang bisa mengajukan pembiayaan.
Dengan demikian, pendanaan hanya berlaku bagi proyek properti yang sudah jelas pembelinya, serta jelas dari sisi harga dan angsurannya. “Hal ini untuk mengurangi risiko penundaan dari ketidakpastian pemasaran properti,” kata Taufiq, Senin, 30 Juli 2018.
Baca: Meresahkan, Kominfo Bakal Blokir Aplikasi Fintech Ilegal
Taufiq menjelaskan, nantinya nilai agunan yang diberikan harus di atas 125 persen dari nilai pembiayaan. Selain itu juga dibentuk Joint Operation (JO) untuk pengawasan operasional dan keuangan proyek yang dibiayai, sehingga akan ada personel yang ditempatkan dari perusahaan untuk ikut mengawasi.
Mitigasi risiko lainnya, kata Taufiq, adalah pengucuran dana tidak diberikan sekaligus, tapi disesuaikan progress bangunan proyek yang dibiayai. Take over proyek juga dilakukan apabila pengembang mendapat pendanaan dari Dana Syariah tidak bisa melanjutkan komitmen pembangunan proyeknya, padahal pembeli sudah membayar sesuai jadwal.
Apabila terjadi kegagalan pembayaran oleh konsumen yang memesan properti dari developer yang menggunakan pendanaan Dana Syariah, menurut Taufiq, maka developer yang akan melanjutkan pembayaran ke perusahaan. Namun bila pengembang juga gagal bayar, maka agunan properti tersebut dijual bersama secara musyawarah bersama dengan tim Dana Syariah untuk memenuhi pembayaran sisa kewajiban dan bagi hasilnya secara syariah. “Sisanya kalau ada, menjadi milik developer,” ujarnya.
Sejauh ini, respons pengembang terhadap pembiayaan ini dilakukan secara positif karena dianggap merupakan alternatif cara pembiayaan non bank yang bisa menjawab kebutuhan permodalan mereka. Berdasarkan catatan perusahaan, sudah ada lebih dari 10 proyek properti yang dibiayai, dan banyak yang sudah mengajukan namun masih mengantri di proses verifikasi kelayakan oleh tim analis Dana Syariah.
Selain Dana Syariah, ada juga Kapital Boost, perusahaan fintech berbasis basis peer to peer dan crowdfunding yang menawarkan prinsip syariah bagi pembiayaan properti. Secara spesifik perusahaan ini menyasar pengembang dan bukannya konsumen properti di segmen menengah dan bawah.
CEO Kapital Boost Ronald Wijaya mengatakan fokus pembiayaan perusahaan adalah rumah yang berdampak sosial, yakni rumah subsidi dan rumah segmen menengah dan bawah. Apalagi pemerintah Indonesia juga mempunyai program sejuta rumah dan masih banyak backlog perumahan yang terjadi.
Ronald menuturkan, saat ini ada 25 proyek rumah subsidi di bawah Rp 700 juta yang tengah dibiayai perusahaan baik dari proyek pengembangan dari nol maupun pembiayaan konstruksi dengan tenor yang rata-rata diambil pengembang selama 1 tahun - 2 tahun. Respons dari pengembang saat ini cukup baik, tetapi tidak tertutup kemungkinan fintech memang belum banyak dijadikan alternatif karena masih minim edukasi dan informasi.
Selain itu, kata Ronald, fintech juga masih berupa sistem pembiayaan yang belum lama terbentuk di Indonesia. Namun, soal risiko pembiayaan properti justru yang paling minim.
Sebab, ketika menyalurkan dana kepada investor, perusahaan telah melakukan PPJB terhadap unit yang akan dibangun. Sehingga ketika pengembang tidak melakukan pembangunan dengan baik, maka proyek itu akan diambil alih. “Risikonya akan lebih minim. Kalau properti harga tahun ini dijual rugi, dua tahun lagi pasti masih bagus,” kata Ronald.
Vice president konsultan properti Coldwell Banker, Dani Indra Bhatara, sebelumnya menyebut perkembangan teknologi finansial di era digital (fintech) ke sektor properti sebagai alternatif sumber dana yang menarik perlu direspons secara hati-hati. Pasalnya, ada sejumlah risiko dari perkembangan fintech tersebut yang harus diwaspadai.
Dani mengatakan perkembangan fintech di properti salah satunya disebabkan oleh makin dibatasinya sektor perbankan mengucurkan dana ke properti, baik ke pengembang maupun ke konsumen (KPR). Sehingga kebutuhan akan dana ini membuat alternatif sumber dana menjadi menarik. “Khususnya untuk konsumen yang tidak bankable karena bekerja di sektor informal, yang kesulitan mendapatkan dana dari bank, dapat beralih ke fintech,” kata Dani di Jakarta, pertengahan Februari lalu.