TEMPO.CO, Jakarta - Pelaku usaha mempertimbangkan untuk menarik pulang hasil ekspor dan mengkonversinya ke dalam kurs rupiah sesuai imbauan pemerintah. “Kami pada prinsipnya mendukung usulan pemerintah tersebut, walaupun sebagian besar sudah dibawa pulang ke Indonesia, dan di satu sisi kami juga ingin memastikan program ini bisa berjalan baik sehingga tetap menjaga operasional serta perkembangan usaha,” ujar Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan Roeslani, kepada Tempo, Ahad 29 Juli 2018.
Baca: Jokowi: Mantadori Biodiesel Hemat Devisa USD 21 Juta per Hari
Rosan menuturkan agar program tersebut berjalan efektif, maka pemerintah perlu memastikan bahwa situasi perekonomian di domestik juga kondusif untuk mendukung upaya penempatan dana-dana tersebut. “Khususnya soal nilai tukar rupiah harus dijaga agar tidak fluktuatif terlalu besar, sehingga menimbulkan kerugian di pihak pengusaha,” ucapnya.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Shinta Widjaja Kamdani mengungkapkan saat ini banyak pelaku usaha ekspor atau eksportir yang harus menggunakan fasilitas perbankan di luar negeri. “Jadi mereka harus menempatkan dananya di sini, tapi mungkin pemerintah perlu meyakinkan dengan insentif dan keuntungan bagi pengusaha untuk membawa masuk kembali devisa,” ujarnya.
Menurut Shinta, sejumlah insentif yang dibutuhkan pengusaha dan dianggap menarik di antaranya adalah insentif perpajakan. “Mungkin bisa dipertimbangkan yang devisa hasil ekspornya dibawa ke dalam negeri bisa diberikan pengurangan pajak, atau juga diberikan fasilitas bunga yang lebih rendah untuk modal usaha dan kompetitif di dalam negeri,” katanya.
Ketua APINDO bidang Kebijakan Publik Danang Girindrawardana menuturkan permintaan pemerintah tersebut bukan hal baru, dan sudah beberapa kali disampaikan kepada pengusaha. “Semacam repatriasi dana yang parkir di luar negeri, tapi kan kalau ada kebutuhan investasi di luar negeri ya harus dimaklumi kalau susah menarik ke dalam,” ujarnya.
Menurut dia, hal terpenting yang harus segera dilakukan pemerintah upaya tersebut berhasil adalah memperbaiki situasi dan regulasi dalam negeri. “Ini supaya para pengusaha kelas nasional itu dengan sendirinya mau menyimpan dana di dalam negeri,” ucapnya.
Baca: Tarik Devisa Wisata, Bank Indonesia Garap 4 Destinasi Selain Bali
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution sebelumnya mengatakan masih ada sekitar 15 persen dana hasil ekspor yang belum kembali ke Indoneisa. “Alasannya macam-macam, missal karena pinjam dari bank luar, sehingga bank itu memberi syarat harus membuka rekening di banknya,” katanya.
Adapun dana ekspor yang sudah masuk sebanyak 85 persen, kata dia belum seluruhnya dikonversi ke dalam kurs rupiah. Di satu sisi, menurut Darmin pemerintah dirasa tak perlu memberikan insentif kepada eksportir agar membawa pulang devisanya. “Seharusnya itu menjadi bagian kesadaran dari bernegara.”
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati berujar imbauan untuk menukar sebagian devisa hasil ekspor dalam bentuk dolar AS ke kurs rupiah dibutuhkan untuk menjaga stabilitas nilai tukar. Dia memaklumi jika eksportir membutuhkan dana valuta asing untuk membayar utang dan membeli bahan baku impor.
“Tapi sisanya bisa dibawa pulang ke Indonesia, dengan catatan mereka juga membutuhkan misalkan untuk membayar gaji karyawan dan kebutuhan produksi perusahaan,” katanya. Dengan demikian, diharapkan terjadi keseimbangan antara jumlah permintaan dan ketersediaan valas serta rupiah di dalam negeri.
Ekonom Institute Development of Economics and Finance Bhima Yudhistira Adhinegara menuturkan jika devisa hasil ekspor ditarik pulang ke Indonesia maka efeknya dapat signifikan menguatkan nilai tukar rupiah. “Dana yang masuk sifatnya net capital inflow masuk ke likuiditas perbankan, bank juga bisa menggunakan dana itu untuk menyalurkan pembiayaan yang lebih besar ke sektor riil,” ujarnya.
Bhima menambahkan dibutuhkan ketegasan dari pemerintah untuk memaksa devisa hasil ekspor tersebut kembali ke dalam negeri. Seperti menerapkan kebijakan untuk menahan dana hasil ekspor selama periode waktu tertentu di dalam negeri. “Itu sudah dilakukan di Thailand, dan terbukti devisa mereka lebih stabil, kalau hanya urusan imbauan dan seruan, efeknya hampir dipastikan kecil.”