TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara memperkirakan rilis inflasi Juli oleh Badan Pusat Statistik (BPS) sebesar 0,21 hingga 0,26 persen, tidak jauh dengan Juli 2017 sebesar 0,22 persen. Menurut Bhima, hal itu akan berpengaruh terhadap ekspektasi pelaku pasar.
Baca juga: Saat Jokowi Kesal ke Kepala Daerah yang Cuek Inflasinya Tinggi
"Rendahnya inflasi merupakan faktor yang cukup anomali di tengah biaya impor meningkat akibat pelemahan kurs, kemudian ada kenaikan harga minyak mentah dunia," kata Bhima saat dihubungi, Senin, 30 Juli 2018.
Bhima memperkirakan sentimen tersebut dapat mempengaruhi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Bhima memprediksi rupiah bergerak bergerak melemah tipis atau berpotensi menguat di kisaran Rp 14.420 - 14.470 pada pekan ini.
Bhima mengatakan jika ditelisik lebih jauh rendahnya inflasi bukan sebuah keberhasilan mengendalikan harga di sisi pasokan, melainkan karena inflasi dari sisi permintaan yang rendah.
"Ini menjadi alarm bagi pelaku pasar di mana daya beli kelas menengah kini mengalami penurunan dalam satu tahun terakhir, sementara kelas atas menahan belanja," ujar Bhima.
Data BPS per Maret 2018 menunjukkan bahwa porsi pengeluaran kelompok 40 persen kelas menengah dalam enam bulan terakhir menurut sebesar 0,04 persen. Sektor yang bergerak di bidang konsumsi prospeknya masih bearish alias negatif.
Dalam situs resmi Bank Indonesia, Jakarta Interbank Spot Dollar Rate atau JISDOR mencatat nilai tukar rupiah terhadap dolar AS berada di angka Rp 14.483 pada Jumat, 27 Juli 2018.
Angka tersebut menunjukkan pelemahan 40 poin dari nilai sebelumnya, yaitu Rp 14.443 pada penutupan Kamis, 26 Juli 2018. Sedangkan pada 27 Juli 2018, kurs jual per dolar AS terhadap rupiah, yaitu Rp 14.555 dan kurs beli Rp 14.411.