TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat energi dari Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi tak yakin jika rencana pemerintah mengenai pembatalan aturan memasok batu bara lewat domestic market obligation (DMO) bakal menutup defisit transaksi berjalan. Dia menilai cara tersebut tak bakal signifikan memberikan sumbangsih terhadap defisit yang terjadi saat ini.
Simak: ESDM Akui Belum Bisa Pastikan Pembatasan Produksi Batubara
"Kecuali seluruh produksi batu bara sebesar 425 juta metric ton tahun ini diekspor, maka akan ada tambahan devisa dari ekspor batu bara," kata Fahmy dalam keterangan tertulisnya yang diterima Tempo, Sabtu, 28 Juli 2018.
Pada Jumat, 27 Juli 2018 kemarin Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan pemerintah bakal mencabut kebijakan wajib memasok kebutuhan dalam negeri alias domestic market obligation batubara. Luhut beralasan pembatalan DMO dilakukan supaya bisa mendongkrak nilai ekspor batu bara guna menambah devisa untuk sekaligus mengamankan defisit transaksi berjalan yang terus membebani.
Merujuk Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Manusia (ESDM) Nomor 23K/30/MEM/2018, tertera bahwa minimal sebanyak 25 persen total produksi batu bara dari tiap perusahaan harus dijual ke PLN. Sedangkan Keputusan Menteri ESDM Nomor 1395 K/30/MEM/2018 tentang Harga Batu Bara Untuk Penyediaan Tenaga Listrik, DMO harga batu bara sektor ketenagalistrikan dipatok maksimal US$70 per ton untuk kalori 6.332 GAR atau mengikuti Harga Batu bara Acuan (HBA), jika HBA di bawah US$70 per metric ton.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, total produksi batu bara pada 2018 diperkirakan sebesar 425 juta metric ton. Sedangkan harga batu bara pada Juli 2018 yang mencapai US$ 104,65 per metric ton.
Merujuk data itu, Fahmy menghitung, penjualan jatah 25 persen produksi batu bara kepada PLN atau sebesar 106 juta metric ton dengan harga pasar, maka tambahan pendapatan pengusaha batu bara naik menjadi US$ 11,12 miliar. Tetapi jika menggunakan harga DMO US$ 70 per metric ton, pendapatan pengusaha turun menjadi US$ 7,44 miliar.
Simak: Jaga Pasokan, PLN Bakal Akuisisi Tambang Batu Bara
"Selisih perbedaan harga tersebut sebesar US$ 3,68 miliar hasil dari US$ 11,12 minus US$ 7,44. Menurut Bank Indonesia, defisit neraca pembayaran selama 2018 diperkirakan sebesar US$ 25 miliar, maka selisih harga itu tidak signifikan," kata pria yang juga menjadi dosen ekonomi UGM ini.
Karena itu, Fahmy menilai jika benar kebijakan DMO dibatalkan kebijakan tidak akan ada tambahan devisa dari pendapatan ekspor batu bara. Sebaliknya, justru penambahan pendapatan pengusaha batu bara dari PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagai perusahaan pemebeli, yang berasal dari kenaikan harga jual dari US$ 70 naik menjadi US$ 104,65.
Dengan demikian, lanjut Fahmy, pembatalan DMO harga batu bara tidak menghasilkan tambahan devisa sama sekali, kecuali hanya menambah pendapatan pengusaha batu bara, sekaligus menambah beban biaya bagi PLN. Tak hanya itu hal ini tentu bakal memberatkan neraca keuangan bahkan merugikan PLN sebagai akibat naiknya harga pembelian batu bara.