TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara, memperkirakan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat berisiko ditutup melemah di level 14.490 hari ini. Bhima memperkirakan rupiah akan bergerak di kisaran Rp 14.440-Rp 14.495.
Baca: Kurs Rupiah Melemah, BI Minta Masyarakat Tak Borong Dolar
"Sentimen negatif kurs rupiah diakibatkan oleh devaluasi yuan, teror bom di kedutaan AS Beijing, dan rilis data kuartal kedua ekonomi AS yang diperkirakan mampu tumbuh 4,2 persen lebih tinggi dari ekspektasi sebelumnya," kata Bhima saat dihubungi, Jumat, 27 Juli 2018.
Menurut Bhima, pertumbuhan ekonomi AS yang tinggi akan memicu suku bunga bank sentral AS atau Fed Rate naik lebih cepat daripada proyeksi awal. Tahun ini Fed Rate bakal naik empat kali untuk menjaga ekonomi AS tidak overheating. Bhima menilai likuiditas dana asing kemungkinan besar masih fluktuatif.
Bhima berujar, dari dalam negeri, kurs masih bisa ditahan dari penurunan yang lebih dalam karena masuknya dana asing di bursa saham dalam sepekan terakhir. Net buy asing mencapai Rp 1,59 triliun.
"Ini angka yang cukup positif didorong oleh laporan keuangan emiten di sektor konstruksi yang tumbuh cukup signifikan. Waskita Karya, misalnya, mencatat kenaikan laba bersih hingga 113 persen pada semester pertama 2018," kata Bhima.
Dalam situs resmi Bank Indonesia, Jakarta Interbank Spot Dollar Rate atau JISDOR mencatat nilai tukar rupiah terhadap dolar AS berada di angka Rp 14.443 pada Kamis, 26 Juli 2018. Angka tersebut menunjukkan penguatan 72 poin dari nilai sebelumnya, yaitu Rp 14.515 pada penutupan Rabu, 25 Juli.
Sedangkan pada 26 Juli 2018, kurs jual US$ 1 terhadap rupiah adalah Rp 14.515 dan kurs beli Rp 14.371.
Lebih lanjut, Bhima mengatakan, statement Presiden Joko Widodo atau Jokowi yang meminta pengusaha memulangkan devisa hasil ekspor dari luar negeri ke Indonesia juga menjadi bujukan moral (moral suasion) yang cukup baik.
"Harapannya akan lebih banyak devisa yang masuk sehingga menguatkan rupiah dalam jangka panjang," kata Bhima.
Dari sisi kebijakan, pemerintah telah berkomitmen menunda beberapa proyek infrastruktur yang belum mendesak. Bhima melihat hal itu bertujuan agar impor bahan baku dan barang modal bisa dikurangi.
"Langkah ini cukup diapresiasi lantaran impor besi baja selama Januari-Mei telah naik 39 persen (yoy). Sebagian untuk pemenuhan kebutuhan infrastruktur," kata Bhima.
Senior Analyst CSA Research Institute, Reza Priyambada, memperkirakan rupiah akan bergerak di kisaran Rp 14.460 - Rp 14.450.
Baca juga: Rupiah Melemah, BPS: Inflasi Akibat Impor Pangan Belum Terlihat
"Masih adanya imbas sentimen positif dari dalam negeri yang dibarengi dengan terapresiasinya EUR terhadap dolar AS sehingga membuat dolar AS terlihat bergerak turun memberikan peluang pada rupiah untuk dapat kembali melanjutkan kenaikannya," kata Reza.