TEMPO.CO, Jakarta - Gubernur BI Perry Warjiyo menyoroti besarnya defisit neraca transaksi berjalan Indonesia yang kemungkinan menyentuh angka US$ 25 miliar pada 2018. Angka tersebut jauh lebih tinggi ketimbang tahun lalu sebesar US$ 17,5 miliar.
Baca juga: Bank Indonesia Optimistis Defisit Transaksi Berjalan Terjaga
"Terus terang ini berat, tekornya tambah gede," ujar Perry dalam acara Sarasehan Nasional 2018 bertajuk “Mempercepat Pembangunan Infrastruktur untuk Mewujudkan Stabilitas Harga dan Pertumbuhan Ekonomi yang Inklusif serta Berkualitas”, di Gedung Bank Indonesia, Jakarta, Rabu, 25 Juli 2018.
Sebenarnya, tingkat ekspor Indonesia, kata Perry, sudah cukup baik. Tapi di sisi lain, kenaikan impor juga lebih besar. Sehingga defisit transaksi berjalan tahun ini bakal lebih besar.
Masalahnya, Perry menyebut adanya gonjang-ganjing global, perang dagang, sampai kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat beberapa kali menyebabkan devisa yang masuk dalam bentuk investasi portopolio menjadi sangat rendah.
Pada tahun lalu, pembiayaan dari kekurangan devisa di samping penyertaan modal asing yang cukup baik, yaitu US$ 17 miliar, arus modal asing dalam bentuk pembelian surat berharga dan saham itu cukup besar.
Sehingga, pengendalian defisit transaksi berjalan menjadi pekerjaan rumah yang mesi diselesaikan, di samping peningkatan produksi sektor pertanian, infrastruktur, mengurangi kemiskinan, dan menciptakan lapangan pekerjaan.
"Koordinasi pemerintah pusat dan daerah adalah untuk mendorong pariwisata, saya kira itu jadi sangat penting," ujar Perry. "Mendorong berbagai ekspor, mengurangi impor, dan segala macam menjadi sangat penting."
Gubernur BI tersebut juga mengingatkan pentingnya pemanfaatan sektor digital dalam memperbaiki perekonomian Indonesia. Harapannya, ada peningkatan produksi, ketersediaan pasokan, distribusi, yang berujung dengan naiknya perekonomian Indonesia.