TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo atau Jokowi memimpin rapat terbatas mengenai percepatan pelaksanaan mandatori biodiesel di Kantor Presiden, Jakarta, Jumat, 20 Juli 2018. "Kenapa kita perlu melakukan percepatan biodiesel dan energi baru terbarukan? Karena saat ini penggunaan energi fosil masih sangat dominan. Sedangkan pemanfaatan energi baru terbarukan masih kecil," kata Jokowi.
Baca: Jokowi: RAPBN 2019 Fokus ke Peningkatan SDM
Menurut Jokowi, masyarakat tidak boleh hanya bergantung pada fosil semata untuk bahan bakar. Sebab, energi fosil pada suatu saat akan habis. Jokowi melihat implementasi percepatan pelaksanaan mandatori biodiesel di lapangan belum sesuai yang diharapkan. Padahal, kata dia, sudah beberapa kali kebijakan itu dibahas. "Ini akan saya tekankan. Prosesnya akan saya lihat terus," ujarnya.
Joklwi mengatakan, dengan adanya percepatan pelaksanaan mandatori biodiesel bisa mengurangi impor minyak. Sehingga akan berdampak pada perbaikan neraca perdagangan. Artinya, kata Jokowi, pemerintah akan menghemat devisa hingga US$ 21 juta per hari.
Baca: Masuk Kandidat Cawapres Jokowi, Ini Reaksi Susi dan Sri Mulyani
Baca Juga:
Namun, Jokowi mengatakan tidak ingin pencapaian hanya berhenti pada target di atas kertas. Ia ingin agar pelaksanaan mandatori biodiesel menjadi komitmen bersama setiap kementerian, lembaga, dan badan usaha milik negara. Ia juga berharap setiap instansi menyiapkan kerangka pelaksanaannya secara detil dari hulu ke hilir.
"Sehingga implementasi betul-betul bisa menghasilkan sesuatu yang baik dan tidak kalah penting memastikan keamanan dan keandalan biodiesel sebagai bahan bakar alternatif. Sehingga penggunaan biodiesel semakin meningkat dan meluas," ucapnya.
Dalam rapat yang dipimpin Presiden Jokowi itu, turut hadir sejumlah menteri di antaranya Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan, dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Thomas Lembong.