TEMPO.CO, Jakarta - Pasien penyakit kanker payudara Juniarti Tanjung, beserta suami Edy Haryadi akan menempuh jalur hukum untuk memperjuangkan obat trastuzumab. Melalui salah satu tim kuasa hukumnya, Wahyu Budi Utomo, ia melayangkan somasi ke kantor BPJS Kesehatan.
BACA: Pasien Kanker Ini Berencana Gugat BPJS Kesehatan dan Jokowi
Dalam somasinya ia menginginkan adanya penjelasan dari BPJS Kesehatan terkait alasan memberhentikan penjaminan trastuzumab. “Sampai saat dikeluarkan somasi ini belum ada tanggapan atau kejelasan sama sekali,” kata dia saat ditemui di Kantor Pusat BPJS Kesehatan, Jakarta, Kamis, 19 Juli 2018. Ia juga sangat menyesalkan tidak adanya sosialisasi terkait pemberhentian penjaminan obat trastuzumab.
Sebelumnya, Badan Pengelola Jaminan Sosial Kesehatan atau BPJS Kesehatan memberi penjelasan mengenai obat Trastuzumab yang belakangan jadi perbincangan di media sosial. Obat untuk pengidap kanker payudara itu sejak 1 April 2018 tak lagi dijamin oleh BPJS Kesehatan.
Menurut juru bicara BPJS Kesehatan Nopi Hidayat, tidak dijaminnya obat trastuzumab sudah sesuai dengan Keputusan Dewan Pertimbangan Klinis yang menyatakan bahwa obat Trastuzumab tidak memiliki dasar indikasi medis untuk digunakan bagi pasien kanker payudara metastatik walaupun dengan restriksi.
Wahyu mengatakan jika memang ada obat untuk menggantikan trastuzumab ia meminta penjelasan obat apa saja yang bisa digunakan untuk kliennya itu. “Kalaupun memang dikatakan ada obat pengganti, ya apa obatnya. Karena sejauh ini kan mereka cuma bilang ada obat tapi enggak ditunjukkan apa obatnya. Jangan cuma ngga menjamin tapi ngga ngasih solusi,” ucap dia.
Wahyu juga mengatakan akan mengajak pihak BPJS Kesehatan untuk membahas solusi dari permasalahan tersebut di kantornya, Graha Pratama lantai 2 pada Senin, 23 Juli 2018. “Kalau tidak merespon, kami akan melanjutkan ke proses hukum selanjutnya,” kata dia.
BACA: BPJS Kesehatan Jelaskan Soal Obat Kanker yang Kini Tak Lagi Dijamin
Sebelumnya, Edy mengisahkan ia dan Juniarti mengenal obat itu setelah sang istri divonis menderita kanker payudara HER2 positif, metastasis, dan berada di stadium 3 B. Juniarti disarankan menjalani kemoterapi. Dokter pun meresepkan tiga obat kemoterapi dan satu obat yang tergolong terapi target untuk pengobatan kanker payudara HER2 positif, yaitu trastuzumab.
Namun, apoteker Rumah Sakit Persahabatan menolak resep Juniarti untuk obat tersebut lantaran sejak 1 April 2018 obat trastuzumab dihentikan penjaminannya oleh BPJS Kesehatan. "Belakangan kami baru tahu penjaminan itu dihentikan BPJS atas dasar pertimbangan Dewan Pertimbangan Klinis BPJS yang menganggap obat itu tidak bermanfaat secara medis," ujar Edy.
Padahal, menurut Edy, trastuzumab adalah obat yang aman, bermutu dan berkhasiat yang perlu dijamin aksesbilitasnya dalam rangka pelayanan Jaminan Kesehatan Nasional, merujuk kepada Keputusan Menteri Kesehatan RI tentang Formularium Nasional 2018 yang ditetapkan pada 28 Desember 2017. "Di halaman 66 pada poin 43 keputusan itu menyebutkan secara tegas bahwa trastuzumab diberikan pada pasien kanker payudara metastatik dengan HER 2 positif dan wajib dijamin ketersediaan obatnya oleh BPJS Kesehatan."
Edy dan istrinya sempat berkomunikasi dengan pihak BPJS Kesehatan terkait kasusnya itu. Namun, hingga Juniarti menjalani kemoterapi pertama, obat tersebut masih belum diperolehnya.
Saat itu, Edy ditelepon kembali oleh pihak BPJS yang mengatakan bahwa kasus Juniarti tengah diproses. Namun, Edy merasa dalam proses tersebut, BPJS justru terkesan mengaudit dokter di RS Persahabatan yang memberi resep obat tersebut. tak dapat kejelasan, Edy pun mendesak ihwal permintaan jaminan obat itu.
"Ketika saya desak lagi, dia mengatakan direksi BPJS Kesehatan tidak akan menjamin. Karena direksi BPJS percaya masih ada 22 obat kanker di luar trastuzumab," ujar Edy. "Tapi BPJS tidak pernah menyebutkan obat apa di luar trastuzumab yang telah terbukti secara ilmiah, medis dan empiris memperpanjang usia penderita kanker payudara HER2 positif."
CAESAR AKBAR