TEMPO.CO, Jakarta - Jika sebelumnya Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebutkan tingkat kemiskinan per Maret 2018 sebesar 9,82 persen sebagai rekor terendah sepanjang sejarah, tak demikian dengan anggapan Direktur Eksekutif Perkumpulan Prakarsa Ah Maftuchan. Maftuchan mengkritik data tersebut masih melihat kemiskinan dari kacamata ekonomi saja, yakni dari sisi pengeluaran per kapita.
Baca: Kemiskinan 9,82 Persen, Sri Mulyani: First Time in History
Karena itu, Maftuchan menilai ukuran kemiskinan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), yang hanya melihat dari satu dimensi saja, cenderung tak holistik. "Kita harus membuat ukuran kemiskinan relatif, yakni ukuran yang dinamis dan mengacu pada standar kualitas hidup yang multi-dimensi," katanya, seperti dikutip dari keterangan tertulis di Jakarta, Kamis, 19 Juli 2018.
Sebelumnya, BPS telah merilis data kemiskinan yang diklaim paling rendah sepanjang sejarah Indonesia, yakni 9,82 persen pada Maret 2018. Jumlah tersebut berkurang jika dibanding pada September 2017, yang mencapai 10,12 persen. Tercatat 633,2 ribu orang, yang terdiri atas 128,2 ribu orang di perkotaan dan 505 ribu orang di perdesaan, berhasil lepas dari label penduduk miskin.
Baca: Sri Mulyani Sebut Kemiskinan Turun, Ekonom Pertanyakan Hal Ini
Maftuchan mengusulkan seharusnya indikator kemiskinan menggunakan kacamata multi-dimensi dalam melihat kemiskinan. Artinya, tingkat kemiskinan tidak hanya didasarkan atas indikator rata-rata pengeluaran per kapita per bulan, tapi juga memasukkan indikator lain, seperti dimensi kesehatan, pendidikan, perumahan, serta akses terhadap air bersih dan energi.
Jika menggunakan indikator yang multi-dimensi, tingkat kemiskinan akan jauh berbeda. Misalnya, kata Mafthucan, hasil penghitungan Indeks Kemiskinan Multidimensi di Indonesia pada 2012-2014 yang dilakukan Perkumpulan Prakarsa menunjukkan perhitungan kemiskinan dengan pendekatan multi-dimensi bisa lebih besar dibandingkan dengan angka kemiskinan moneter.
"Sebagai contoh pada tahun 2014, Prakarsa menghitung penduduk yang miskin mencapai 29,7 persen, sementara angka kemiskinan moneter tercatat hanya 11,3 persen," ucap Maftuchan. Hal ini menunjukkan terdapat gap penduduk miskin yang tidak terlihat pemerintah karena indikator penentuan penduduk miskin yang hanya satu dimensi.
Selain itu, pendekatan multi-dimensi dalam melihat kemiskinan akan membantu pemerintah bisa melihat kemiskinan yang mendekati kenyataan riil di lapangan. Upaya ini, misalnya, membantu penyusunan kebijakan program yang lebih terukur dan sesuai dengan apa yang sebenarnya dibutuhkan penduduk miskin.
Sebelumnya, Sri Mulyani turut berbesar hati menanggapi pengumuman BPS bahwa per Maret 2018 tingkat kemiskinan mencapai 9,82 persen. "The first time in the history of Indonesia, tingkat kemiskinannya di bawah 10 persen," tutur Sri Mulyani dalam acara peringatan 10 tahun Adaro masuk Bursa Efek Indonesia di Hotel Ritz-Carlton Ballroom, Pacific Place, Jakarta, Senin, 16 Juli 2018.
Sri Mulyani lalu menjelaskan sejumlah perbandingan tingkat kemiskinan pada beberapa masa kepemimpinan presiden sebelumnya. Tingkat kemiskinan saat presiden kedua RI, Soeharto, berada di level 11 persen. "Mendekati 10 persen dan itu sudah ada Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) kelima. Kemudian terjadi krisis dan kemiskinan naik lagi ke level 24 persen," ujarnya.
Adapun pada zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Sri Mulyani, yang saat itu menjabat Menteri Keuangan, berupaya menurunkan tingkat kemiskinan. "Pada level hampir mendekati 11 persen juga, tapi setelah itu tetap berhenti pada saat Indonesia belum banyak sekali komoditas," katanya.