TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Perhubungan bersikukuh mengarahkan pengaturan layanan transportasi roda dua berbasis aplikasi atau ojek online pada pemerintah daerah. Pasal terkait keamanan dan ketertiban dalam Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dianggap bisa mengatur aspek sederhana, seperti wilayah operasi ojek daring.
Kepala Subdirektorat Angkutan Orang Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, Syafrin Liputo, mengaku sempat menerima konsultasi Pemerintah Provinsi Jawa Timur yang tengah merancang peraturan gubernur, terkait transportasi roda dua. "Nanti diatur seperti soal zona hijau, atau zona merah tempat dia (ojek online) dilarang beroperasi," kata Syafrim pada Tempo, Rabu 18 Juli 2018.
Pemberian zona, menurut dia, memungkinkan untuk diatur pemda asalkan untuk meminimalisir potensi konflik antar pengemudi daring dan konvensional. Aspek lain, seperti tarif dan kuota, belum bisa diatur karena bertentangan dengan UU Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Baca: Ojek Online Berunjukrasa Saat Asian Games Dibuka, Tuntutannya?
"Yang dilarang adalah melegalkan motor sebagai angkutan umum. Kalau menertibkan, bisa di skala (peraturan) kepala daerah," tuturnya.
Kepala Seksi Angkutan Jalan Dinas Perhubungan Jatim, Triana, tak ingin membeberkan isi rancangan Pergub yang disusun pihaknya. Namun, dia memastikan draft tersebut dibahas bersama dengan perwakilan dari perusahaan aplikasi dan para pengemudi. "Ada rapat koordinasi pada Kamis (kemarin)," ujarnya saat dihubungi.
Adapun Pemda Jawa Barat belum menentukan sikap lantaran khawatir dengan potensi silang aturan antara perda dan UU No. 22/2009. Kepala Dishub Jabar, Dedi Taufik, sempat meminta kejelasan dari pemerintah pusat. "Ditentukan dulu roda dua itu transportasi atau bukan. Bagaimana ke daerah sementara kita punya UU tentang Lalu Lintas, itu juga jangan dilanggar."
Komisioner Ombudsman Republik Indonesia, Alvin Lie, mengatakan munculnya perda penertiban ojek online bisa dengan mudah diperkarakan. Apalagi, Mahkamah Konstitusi sudah menolak melegalkan motor sebagai angkutan umum dalam uji materi UU No.22/2009.
Baca: Ojek Online Akan Demo di Asian Games, Siap jika Ditindas Aparat
"Jelas-jelas dilarang hukum, kalau pemda buat aturan terkait ya bisa dipidanakan oleh pihak di luar ojek online," ucap Alvin.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira, justru melihat potensi korupsi dan suap jika pemda menyusun aturan khusus terkait angkutan daring. "Bayangkan ada nego dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dengan perwakilan transportasi entah online atau konvensional terkait isi perda itu."
Menurut dia, pengawasan melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu) adalah solusi tunggal mengingat ojek online sudah menjadi kebutuhan masyarakat. Namun, opsi itu tak kunjung diambil pemerintah dengan dalih tingginya kecelakaan jalan akibat motor.
Ketua Perkumpulan Pengemudi Transportasi dan Jasa Daring Indonesia, Igun Wicaksono, memastikan persatuan pengemudi tak akan berhenti menuntut perlindungan hukum dari pemerintah. Pasalnya, unjuk rasa pengemudi dari dua perusahaan aplikasi Indonesia, yakni Grab dan Go-Jek, tak pernah mendapat kejelasan.
Igun menyebut pengendara ojek online akan kembali berdemo pada awal perhelatan Asian Games di Jakarta dan Palembang, bulan depan, agar mendapat perhatian pemerintah. "Hingga saat ini tarif ojek online yang diturunkan sepihak oleh aplikator menjadi Rp 1200 - Rp. 1600 per kilometer. Pengemudi harus memaksakan diri bekerja antara 12-18 jam sehari," tuturnya.
Managing Director Grab Indonesia, Ridzki Kramadibrata, mengaku belum mendengar rencana penertiban roda dua melalui perda. "Saya coba diskusikan dulu secara internal ya," katanya pada Tempo.
YOHANES PASKALIS PAE DALE | AHMAD FIKRI