TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi Keuangan DPR, Ecky Awal Mucharam mengungkapkan bahwa saat ini kondisi utang BUMN atau Badan Usaha Milik Negara sudah sangat mengkhawatirkan. Apalagi dalam kondisi nilai tukar rupiah yang terus terdepresiasi tentu keuangan BUMN dalam kondisi yang membahayakan.
Baca: Jasa Marga Terbitkan Komodo Bonds Rp 4 Triliun di Bursa London
"Utang BUMN non lembaga keuangan tercatat 59 persen dalam bentuk mata uang asing dan 53 persen dipegang asing. Beban cicilan utang dan bunganya akan sangat membebani perusahaan,” kata Ecky dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Senin 16 Juli 2018.
Menurut Ecky, data Bank Indonesia (BI) hingga triwulan I 2018, posisi utang BUMN non-lembaga keuangan saat ini mencapai US$ 47,11 miliar. Jumlah tersebut mengalami lonjakan signifikan sebesar US$ 7,1 miliar dalam dua tahun terakhir.
Ecky mengatakan dengan menggunakan kurs saat ini yaitu Rp 14.396 per dolar AS, maka utang BUMN non lembaga keuangan telah mencapai Rp 677 triliun. Jika digabung dengan utang lembaga keuangan publik termasuk bank BUMN total nilainya mencapai US$ 325,92 miliar atau senilai Rp 4.682 triliun. "Jumlah ini bahkan lebih besar dari utang pemerintah,“ kata Ecky.
Indikasi tersebut juga tercermin lewat EBITDA atau pendapatan yang menggambarkan kemampuan sebuah perusahaan dalam membayar utang. Rasio EBITDA yang semakin tinggi memberi gambaran bahwa utang tumbuh lebih cepat dibandingkan pendapatan. Menurut lembaga pemeringkat S&P, dari 20 BUMN yang dianalisis, 16 BUMN memiliki rasio leverage yang terus meingkat, sedangkan rasio kecukupan arus kas melemah.
Menurut anggota DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sosial ini, lonjakan utang BUMN disebabkan oleh gencarnya pembangunan infrastruktur. Akibatnya, BUMN terpaksa harus menarik utang sebagai dana untuk ‘bisnis’ infrastruktur.
Ditambah lagi kondisi ini diikuti dengan cash flow perusahaan yang relatif kurang sehat karena munculnya mismatch antara kebutuhan pembayaran utang kepada kreditur dengan penyerataan modal dari pemerintah. Selain itu, tak jarang proyeksi tingkat permintaanya terlalu optmistis. Kasus ini, kata Ecky, terjadi pada PLN yang mengalami over capacity atau beberapa ruas tol yang relatif sepi pengguna.
Simak: Kimia Farma Berekspansi ke Arab Saudi
Karena itu, kondisi utang BUMN ini tentu semakin mengkhawatirkan, karena bukan hanya mempengaruhi keuangan perusahaan tetapi juga persepsi investor. Lembaga pemeringkat dunia mewanti-wanti kondisi keuangan BUMN yang terlibat pada proyek-proyek penugasan pemerintah.