TEMPO.CO, Bengkulu - Penggeledahan rumah Direktur Utama PT PLN (Persero) Sofyan Basir oleh Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK pada Ahad pekan lalu membuat sejumlah pihak mendesak pemerintah untuk mengevaluasi seluruh proyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara.
Desakan evaluasi muncul karena proyek-proyek tersebut dinilai terlalu dipaksakan. Sedikitnya terdapat 13 lembaga nonpemerintah dan sejumlah individu yang bergabung dalam Jejaring Sumatera Terang untuk Energi Bersih yang mendesak evaluasi proyek itu.
Baca: Rumah Sofyan Basir Digeledah, PLN: Dirut Patuh dan Taat Hukum
"Proyek yang terlalu dipaksakan sangat patut dicurigai praktik korupsinya, seperti proyek PLTU Riau yang sedang diusut Komisi Pemberantasan Korupsi," kata Anggota Jejaring Sumatera untuk Energi Bersih, Ali Akbar di Bengkulu, Senin, 16 Juli 2018.
Pernyataan Ali menanggapi penggeledahan rumah Sofyan Basir di Jalan Taman Bendungan Hilir II Nomor 3, Jakarta Pusat, oleh KPK Ahad lalu. Penggeledahan terkait penyidikan tindak pidana korupsi suap kesepakatan kerja sama pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1.
Baca: Sofyan Basir Calon Kuat Dirut Pertamina?
Dalam kasus itu, KPK telah menetapkan dua tersangka masing-masing anggota Komisi VII DPR RI Eni Maulani Saragih (EMS) dan pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited Johannes Budisutrisno Kotjo (JBK).
Lebih jauh Ali menyebutkan, Pulau Sumatera dan daerah lain di Indonesia tidak membutuhkan PLTU berbahan bakar batu bara sebagai sumber energi. Sebab, kondisi saat ini, khususnya di Sumatera, jumlah daya yang tersedia sudah lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan industri.
Ali menjelaskan, hal itu didasarkan pada data Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2018-2027 menyebutkan daya listrik yang tersedia di Pulau Sumatera sebanyak 8.000 Megawatt (MW) denga daya terpakai sebesar 5.500 MW. Dengan kata lain, saat ini Sumatera mengalami kelebihan daya listrik atau surplus sebesar 2.500 MW. Lalu, dengan kondisi surplus daya tersebut, pemerintah akan menambah lebih 7.000 MW listrik yang bersumber dari batu bara.
Salah satu proyek yang masuk dalam target penambahan daya baru yang bersumber dari batu bara adalah PLTU Riau-1 yang tengah diusut KPK. Dalam kasus ini KPK menetapkan Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih menjadi tersangka karena diduga menerima suap sebesar Rp 4,8 miliar.
Eni ditangkap bersama Johannes B Kotjo, salah satu pemegang saham Blackgold Natural Recourses Limited yang merupakan kontraktor PLTU Riau I. Uang Rp 4,8 miliar diduga merupakan bagian dari commitment fee sebesar 2,5 persen atas proyek tersebut.
Anggota jejaring lainnya, Aditia Bagus Santoso yang merupakan Direktur LBH Pekanbaru juga mencurigai proyek PLTU Riau-1 dan Riau-2 yang terlalu dipaksakan. "Narasi yang dibangun adalah proyek ini untuk kesejahteraan rakyat tapi faktanya Sumatera surplus listrik dan yang dibutuhkan adalah pembangunan jaringan untuk konektivitas Sumatera," katanya.
Bagus juga menyoroti proyek pembangkit listrik berbahan batu bara yang mengancam lingkungan dan kesehatan manusia. Apalagi batu bara merupakan industri destruktif yang merusak lingkungan, menyisakan lubang tambang, air dan udara tercemar yang memicu penyakit mematikan. Karena itu, anggota jejaring mendesak pemerintah untuk segera meninggalkan energi kotor batu bara dan berpindah ke energi bersih berkelanjutan seperti pembangkit listrik tenaga bayu atau angin di Sulawesi Selatan.
ANTARA