TEMPO.CO, Jakarta - Penandatanganan perjanjian divestasi saham PT Freeport Indonesia oleh pemerintah Indonesia yang diwakili PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) masih menyisakan sejumlah persoalan. Salah satu isu krusial adalah soal pengelolaan limbah oleh perusahaan yang pernah dijatuhi sanksi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ini.
Dalam catatan Jaringan Advokasi Tambang atau JATAM, Freeport telah menjadikan sungai sebagai lokasi pembuangan limbah beracun. "Lima sungai yaitu sungai Aghawagon, Otomona, Ajkwa, Minajerwi, dan Aimoe telah menjadi tempat pengendapan tailing tambang.," kata Kepala Kampanye JATAM Melky Nahar dalam keterangannya yang diterima Tempo di Jakarta, Jumat, 13 Juli 2018.
Baca: Indonesia Kuasai Freeport jadi Trending Topics di Twitter
Satu yang paling parah yaitu Sungai Ajkwa di Mimika, Papua. Menurut Melky, sungai ini bahkan telah menjadi tempat pembuangan limbah tailing selama 28 tahun, sejak 1988 hingga 2016. Hingga tahun 2016, areal kerusakan dan pendangkalan karena tailing sudah sampai ke laut.
Sebelumnya pada Kamis 12 Juli 2018, PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) yang menjadi perwakilan Indonesia, resmi mengakuisisi 51 persen saham PT Freeport Indonesia. Isu soal limbah ini tidak hanya disinggung JATAM, tapi juga oleh Menteri KLHK Siti Nurbaya yang mengatakan ada 48 poin kelemahan Freeport soal lingkungan. "Terus kita kontrol, kita ikuti, sudah diselesaikan 35 poin, dan masih tersisa 13," kata Siti Nurbaya yang hadir dalam proses akuisisi saham tersebut.
Baca: Pembelian Saham Freeport Dinilai Berpotensi Merugikan Negara
Tak ingin sekedar berwacana, Siti pun bersurat kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan. Dalam keterangannya, Jonan pun mengatakan bahwa perpanjangan Izin Usaha Pertambahan Khusus (IUPK) Operasi Produksi 2x10 tahun akan diberikan kepada Freeport jika pengelolaan limbah bisa diperbaiki.
IUPK yang saat ini dipegang Freeport resmi berakhir pada 4 Juli 2018. Dengan begitu, Freeport kembali menggunakan status sebagai Kontrak Karya. Saat ini, Kementerian ESDM belum menerbitkan perpanjangan IUPK lagi karena menunggu pengajuan terlebih dahulu dari Freeport.
Melky menambahkan, bahwa selain limbah, Freeport juga melakukan sejumlah pelanggaran lingkungan hidup lain. Menurut dia, ada 22 kegiatan dan operasi Freeport yang melanggar analisis dampak lingkungan atau AMDAL. "Misalnya perluasan ukuran tambang terbuka Grasberg dari 410 hektar menjadi 584 hektar yang tak dicantumkan di AMDAL," ujarnya.
Freeport sebelumnya pada Mei lalu telah membantah aktivitas perusahaannya melanggar aturan. Juru bicara Freeport Indonesia, Riza Pratama, menyatakan pengelolaan limbah saat ini adalah hasil kesepakatan bersama pemerintah.
Menurut Freeport, lingkungan yang terkena dampak akan pulih setelah penambangan selesai. "Daerah pengendapan akan menjadi aset masyarakat karena dapat berubah menjadi wilayah perkebunan," kata Riza.
ANTARA