TEMPO.CO, Jakarta - Jaringan Advokasi Tambang atau JATAM mengingatkan bahwa divestasi saham PT Freeport Indonesia sangat rentan menjadi komoditas politik bagi pemerintah. Sebab, beberapa aksi divestasi selama ini justru mengalami kegagalan bahkan berujung pada tindakan korupsi.
"Sejumlah divestasi di Indonesia kerap gagal dan justru hanya menguntungkan oligarki dan mafia pertambangan belaka," kata Kepala Kampanye JATAM Melky Nahar dalam keterangannya yang diterima Tempo di Jakarta, Jumat, 13 Juli 2018.
BACA: Inalum - Freeport Teken Perjanjian, Jokowi: Usahanya Sangat Alot
Sebelumnya pada Kamis 12 Juli 2018, PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) yang menjadi perwakilan Indonesia, akan mengakuisisi 51 persen saham PT Freeport Indonesia. Pihak yang terlibat telah resmi menandatangani Pokok- Pokok Perjanjian (Head of Agreement).
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati berharap kerja sama antara Freeport dan Inalum tetap bisa meningkatkan nilai tambah industri ekstraktif Indonesia. "Serta kemakmuran Papua," kata dia dalam konferensi pers selepas penandatanganan di Gedung Kementerian Keuangan.
Dalam catatan JATAM, ada dua realita yang bisa dijadikan perbandingan untuk divestasi saham Freeport. Yakni divestasi saham PT. Kaltim Prima Coal (KPC) di Kalimantan Timur dan PT. Newmont Nusa Tenggara (sekarang AMMAN Mineral) di Nusa Tenggara Barat.
Dalam kasus KPC, pemerintah kehilangan kesempatan mendapatkan saham divestasi dan justru mengalami kerugian mencapai US$ 63 juta. Sedangkan dalam kasus Newmont, pemegang kontrak karya generasi keempat di lokasi tambah perusahaan diduga terjerat korupsi us$ 237 juta dan berujung pada kegagalan divestasi saham.
BACA: Akuisisi Freeport oleh Inalum Akan Dibiayai Perbankan
Kekhawatiran JATAM ini bukan tanpa sebab. Menurut Melky, pemerintah selama ini juga dengan mudah bisa didesak oleh Freeport dalam berbagai situasi. Salah satu contoh nyata adalah ketika terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 yang membuat kewajiban pembangunan smelter oleh Freeport diundur.
Selain itu, ada juga Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomo 11 Tahun 2014 tentang Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan. Di dalamnya, ekspor baru bisa dilakukan jika pembangunan smelter sudah mencapai 60 persen. Tapi kenyataannya, aturan ini direvisi dan pembangunan fisik smelter didiskon demi bisa melanjutkan ekspor.