TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Perindustrian mencatat sektor manufaktur Indonesia mengalami surplus pada Mei 2018. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Kementerian Perindustrian, Ngakan Timur Antara mengatakan industri yang mengalami surplus yaitu industri kayu, barang dari kayu dan gabus sebesar US$ 387,32 juta, industri kertas dan barang dari kertas US$ 310,71 juta, serta industri furnitur US$ 101,90 juta. Ditambah sektor industri pakaian jadi, juga menunjukkan surplus perdagangan senilai US$ 696,29 juta.
Ngakan mengatakan pemerintah telah memiliki langkah-langkah strategis guna meningkatkan daya saing dan nilai ekspor bagi industri manufaktur nasional. Misalnya,kata dia, pengoptimalan fasilitas fiskal dan menjamin ketersediaan bahan baku.
“Upaya ini sejalan dengan roadmap Making Indonesia 4.0 dalam mengimplementasikan revolusi industri keempat di Tanah Air,” kata Ngakan dalam keterangan tertulis yang diterima Tempo, Jumat, 13 Juli 2018.
BACA: Rupiah Melemah, Industri Manufaktur Terancam Kalah Daya Saing
Sebelumnya, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengakui depresiasi nilai Rupiah membawa dampak terhadap sektor perindustrian. Airlangga menjelaskan ada industri yang diuntungkan dan ada pula yang dilemahkan dengan kondisi tersebut.
“Untuk industri yang berbasis bahan baku domestik, seperti CPO (Crude Palm Oil), itu diuntungkan," ujarnya. Sedangkan, industri yang komponen impornya masih tinggi maupun dunia usaha yang memiliki utang di luar negeri memang mengalami tekanan lebih berat.
Ia menegaskan konsisten untuk mendorong pertumbuhan populasi industri hilir pengolahan minyak sawit di dalam negeri. Hal ini karena produksi CPO nasional diperkirakan mencapai 42 juta ton pada tahun 2020. “Hilirisasi industri akan meningkatkan nilai tambah dan kemampuan dalam menghasilkan produk yang beragam dan inovatif,” tuturnya.
BACA: Jaga Industri Manufaktur, Darmin Akan Berhati-hati Batasi Impor
Salah satu sektor hilir minyak sawit yang tengah dipacu pengembangannya adalah subsektor industri oleokimia. “Pasar produk oleokimia, baik di domestik maupun ekspor, masih terbuka luas karena merupakan kebutuhan bahan baku bagi sejumlah industri,” ujarnya.
Di samping itu, industri oleokimia dinilai sebagai sektor yang strategis karena selain memiliki keunggulan komparatif melalui ketersediaan bahan baku yang melimpah, juga memberikan nilai tambah produksi yang cukup tinggi yakni di atas 40 persen dari nilai bahan bakunya.
Bahkan, Indonesia bisa berpeluang menjadi pusat industri sawit global untuk keperluan pangan, non-pangan, dan bahan bakar terbarukan. Ia menjelaskan Indonesia berkontribusi sebesar 48 persen dari produksi CPO dunia dan menguasai 52 persen pasar ekspor minyak sawit.
Baca berita tentang manufaktur lainnya di Tempo.co.