TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto meminta pelaku industri di dalam negeri tidak mengkhawatirkan rencana Amerika Serikat mengkaji kebijakan generalized system of preferences (GSP) untuk beberapa komoditas asal Indonesia. GSP merupakan kebijakan memberikan keringanan bea masuk terhadap impor barang-barang tertentu dari negara-negara berkembang.
“Komunikasi kami terus berjalan dengan pemerintah Amerika Serikat. Pemerintah Indonesia juga akan melakukan sosialisasi terhadap eksportir kita yang produknya masuk ke dalam lingkup GSP," ujar Airlangga dalam keterangan tertulis yang diterima Tempo, Jumat, 13 Juli 2018.
Alih-alih, Airlangga mendorong industri nasional yang belum memanfaatkan skema GSP yang ditetapkan Amerika agar dapat mengoptimalkannya. "Jadi produk-produk yang GSP-nya belum termanfaatkan, perlu kita sosialisasikan dan dorong supaya dimanfaatkan secara maksimal," katanya.
Baca: Industri Manufaktur Terpukul oleh Pelemahan Rupiah
Saat ini, Presiden Amerika Serikat Donald Trump tengah mengkaji kebijakan GSP tersebut karena dinilai membuat neraca perdagangan negara itu defisit. Program ini telah berlangsung sejak 1976, tapi sempat dihentikan pada 2013 dan kembali diberlakukan pada Juni 2015.
Komoditas nasional yang memiliki keunggulan untuk masuk ke pasar Amerika, kata Airlangga, antara lain sayuran, bahan mentah agrikultura, perkayuan, stainless steel, karet, alas kaki, tekstil dan pakaian, serta barang konsumen.
Menurut Airlangga, pemerintah Amerika selalu meninjau ulang skema GSP secara periodik dalam kurun tiga tahun sekali. Tahun ini, Trump akan mengevaluasi sekitar 124 produk ekspor asal Indonesia, termasuk tekstil, plywood, kapas, serta beberapa hasil perikanan, seperti udang dan kepiting.
Evaluasi itu dilakukan untuk menentukan produk apa saja yang masih layak menerima GSP. Apabila hasil dari evaluasi tersebut merekomendasikan Indonesia tidak lagi berhak atas fasilitas GSP, manfaat program tersebut yang sudah diterima produk industri Indonesia akan dihapuskan segera setelah rekomendasinya ditandatangani Trump sekitar November 2018 sampai awal tahun 2019.
Tahun 2011, Indonesia adalah satu dari lima negara yang menikmati manfaat terbesar dari GSP Amerika, selain India, Thailand, Brasil, dan Afrika Selatan. Namun, sejak April lalu, Amerika mempertimbangkan ulang pemberian fasilitas itu untuk Indonesia dan India, terutama dari sudut pandang akses produk mereka di dua negara tersebut.