TEMPO.CO, Semarang - Industri lokal, khususnya manufaktur, mulai merasakan efek nilai tukar rupiah melemah terhadap kenaikan dolar Amerika Serikat. Sebab, para pelaku industri di Jawa Tengah mulai mengeluhkan biaya pembelian bahan baku dari luar negeri yang naik.
“Bahan baku manufaktur kita, seperti farmasi, tekstil, baja, semuanya masih impor, belum sektor industri makanan-minuman,” kata Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jawa Tengah Frans Kongi kepada Tempo, Kamis, 12 Juli 2018.
Frans mengaku transaksi impor bahan baku terkait dengan naiknya mata uang dolar Amerika saat ini menambah kebutuhan. “Harga pokok bahan naik, ini akan menurunkan daya saing global kita, sangat mempengaruhi.”
Baca: Industri Manufaktur Terpukul oleh Pelemahan Rupiah
Frans mengaku kenaikan biaya produksi belum signifikan. Secara keseluruhan kenaikan kurang dari 5 persen. Namun hal itu dikhawatirkan akan mempengaruhi daya saing industri lokal di pasar dunia.
Apindo Jawa Tengah meminta pemerintah memperhatikan sektor manufaktur yang selama ini menjadi penggerak ekonomi di daerah. “Kami minta pemerintah membantu insentif perpajakan, khususnya industri ekspor, agar ada insentif khusus,” kata Frans.
Ia juga berharap pemerintah mulai menghemat belanja. Salah satunya pembangunan yang banyak mengeluarkan biaya besar.
Baca: Rupiah Bergerak di Kisaran Rp 14.340-14.400, Cenderung Menguat
Apindo Jawa Tengah tak memungkiri saat ini sebagian industri dalam negeri ada yang meraih untung akibat kenaikan nilai tukar dolar terhadap rupiah. Industri yang menikmati keuntungan itu adalah sektor perkayuan, yang bahan bakunya ada di dalam negeri.
Namun, Frans mengaku, sektor itu hanya sedikit, dengan persentase industri kayu di Jawa Tengah sekitar 15 persen dari semua industri yang ada.
Wakil Ketua Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) Jawa Tengah Andreas B. Wirohardjo menyebut kenaikan nilai tukar rupiah terhadap dolar belum berpengaruh terhadap impor bahan baku.
“Karena importasi dilakukan enam bulan ke depan, kenaikan tak sampai 30 persen, mereka (pelaku usaha) tak akan goyah,” kata Andreas.
Andreas menyebutkan kondisi saat ini masih aman dan baru kelihatan ada efek pada periode enam bulan, tepatnya akhir Agustus dan awal September mendatang.
Menurut dia, pengusaha cenderung masih menunggu dan memantau situasi terkait dengan kenaikan nilai tukar mata uang itu. Meski demikian, ia menilai sikap itu justru akan berbahaya karena jika tak tepat menentukan kebutuhan belanja, bisa menyebabkan ekonomi mudah goyah.
“Ini yang rawan ketika ada pihak-pihak banyak spekulasi,” kata Andreas.
GINSI Jawa Tengah mencatat kebutuhan bahan baku manufaktur Jawa Tengah 80 persen impor. Hal itu membuktikan kebutuhan ekspor asal Jawa Tengah masih tergantung pada bahan dari luar negeri. “Sehingga kebutuhan impor sangat tinggi,” tuturnya.