TEMPO.CO, Jakarta - Rencana pengetatan impor Amerika Serikat terhadap produk tanah air diprediksi membuat angka ekspor Indonesia ke AS semakin anjlok. Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara menduga harga barang ekspor Indonesia akan menjadi kurang kompetitif dan omset eksportir ke AS menurun tajam.
"Persaingan dengan produsen lain pun bisa makin ketat. Misalnya soal tekstil, dari sisi Revealed comparative advantages (RCA) Indonesia nilainya 5,07 sementara Vietnam 5,5," ujar Bhima kepada Tempo, Sabtu, 7 Juli 2018. Dengan demikian, Indonesia yang sudah di bawah Vietnam dari sisi daya saing makin tertinggal jika Presiden AS Donald Trump benar-benar menaikan tarif produk asal Indonesia.
Baca: Sandiaga Uno: Stabilkan Harga, DKI Impor Bawang Putih dari Cina
Yang paling dikhawatirkan dari anjloknya ekspor ke AS, kata Bhima, adalah potensi meruginya beberapa perusahaan, diiringi dengan ancaman pemutusan hubungan kerja alias PHK massal.
Kala ekspor semakin lesu, sementara impor terus naik, maka permintaan valuta asing, khususnya dolar AS akan meningkat untuk memenuhi kebutuhan impor. "Ada korelasi positif antara defisit perdagangan dan permintaan valas."
Sehingga, ia memprediksikan Rupiah melanjutkan pelemahan hingga akhir tahun dengan range Rp 14.700-14.800. Adapun pertumbuhan ekonomi pun tergerus net ekspor yang melambat. "Maksimal tahun ini hanya 5,1 persen, di bawah target APBN 5,4 persen," ujar Bhima lagi.
Kalau pun nantinya Indonesia melakukan aksi pembalasan dagang Indonesia ke AS dengan ancaman kenaikan tarif kedelai yang jadi bahan baku tempe dan tahu, itu malah berisiko bagi inflasi makanan di Indonesia. Sehingga, ia menilai kondisi saat ini serba sulit.
Sebelumnya, Ketua Tim Ahli Wakil Presiden Sofjan Wanandi mengatakan salah satu komoditas yang akan terkena dampak kebijakan Trump itu adalah tekstil. "Dia (Presiden Amerika Serikat Donald Trump) sudah kasih kita warning karena ekspor kita lebih besar daripada ekspor mereka, beberapa special treatment yang dia beri ke kita mau dia cabut," ungkapnya di Halal Bihalal Apindo, Kamis lalu.
Menurut Sofjan, tidak ada satu pihak pun yang akan bisa mengukur efek perang dagang yang akan terjadi di masa depan.
Baca: Perang Dagang, AS Ancam Cabut Tarif Bea Masuk Produk Indonesia
Secara pribadi, dia menasihati pengusaha di dalam negeri untuk menjaga cashflow masing-masing bisnisnya. "Jaga cashflow masing-masing karena efeknya tidak segera," ujar Sofjan.
Sementara itu, Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia bidang Hubungan Internasional Shinta Widjaja Kamdani membenarkan adanya upaya AS untuk meninjau kembali Generalized System of Preference (GSP) untuk beberapa produk Indonesia.
"Itu termasuk plywood, kayu, produk pertanian, udang dan macam-macam. Tekstil sebenarnya tidak, tidak masuk di 120 itu," kata Shinta.
Namun, Shinta melihat komoditas tekstil dapat terkena juga karena seluruh produk impor yang akan ditinjau oleh Amerika. Pemerintah dan pengusaha Indonesia sudah dipanggil ke Amerika Serikat untuk melakukan dengar pendapat. Pada 19 Juli 2018, Shinta mengungkapkan pihak AS akan kembali mengundang untuk melakukan dengar pendapat lanjutan.
Sejauh ini, Shinta melihat posisi Indonesia tidak terlalu terpuruk karena di satu sisi AS masih membutuhkan perdagangan dengan negara lain di tengah perang dagangnya dengan Cina.
CAESAR AKBAR | BISNIS