TEMPO.CO, Bandung -Penjabat Gubernur Jawa Barat Komisaris Jenderal Mochamad Iriawan belum bisa memberi tanggapan soal putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak ojek online sebagai bagian dari transportasi umum. “Belum (bisa menanggapi), masih harus mempelajari,” kata dia pada Tempo, Selasa, 3 Juni 2018.
Iriawan mengatakan, akan meminta penjelasan tim teknis dulu soal sikap Jawa Barat menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak taksi online tersebut. “Nanti saya panggil dulu tim teknisnya,” kata dia.
BACA: Penjambretan di Cempaka Putih, Penumpang Ojek Online Tewas
Kepala Dinas Perhubungan Jawa Barat Dedi Taufik mengatakan, pemerintah harus segera mencari solusi soal putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak melegalkan ojek online tersebut. “Melihat fenomena di lapangan bahwa ojek online itu sudah ada dan sudah dijadikan sarana transportasi umum oleh masyarakat sementara MK menolak melegalkan, tentunya pemerintah harus segera mencari solusinya sehingga pelayanan kepada masyarakat tetap terpenuhi dan aspek keselamatan sebagaiman amanat dari UU No. 22 Tahun 2009 dapat dipenuhi juga,” kata dia, dikutip dari tanggapan tertulisnya yang diterima Tempo, Selasa, 3 Juli 2018.
Dedi mengatakan, Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nomor 22/2009 tidak memasukkan sepeda motor dalam kategori kendaraan mengangkut barang dan orang. Regulasi turunannya, PP 74/2014 tentang Angkutan Jalan juga menguatkan. “Mengacu pada hal di atas, dapat disampaikan bahwa sepeda motor memang tidak dikategorikan sebagai kendaraan bermotor penumpang atau mengangkut barang,” kata dia.
BACA: Grab Angkat Bicara Soal Putusan MK tentang Ojek Online
Ketua Organda Jawa Barat, Dedeh T Widarsih mengatakan, pemerintah diminta merevisi Undang-Undang Lalu Lintas karena persoalan ojek online itu karena dalam undang-undang tersebut tidak mencantumkan kendaraan roda dua sebagai angkutan umum. “Undang-Undang Lalu Lintasnya dirobah dulu. Kalau sekarang mau di legalkan oleh daerah, pakai dasar hukum apa? Pemerintah harus merubah itu kalau memang mau melegalkan,” kata dia pada Tempo, Selasa, 3 Juli 2018.
Dedeh mengatakan, ojek online saat ini berada dalam wilayah abu-abu karena masyarakat sudah kadung memanfaatkannya. “Sekarang masih abu-abu, ada yang masuk asuransi, ada yang tidak. Kalau sekarang ada apa-apa, susah, termasuk perlindungan pada masyarakat, itu harus diperhatikan,” kata dia.
Dedeh mengatakan, legalisasi tersebut untuk memastikan jaminan perlindungan terhadap penumpang, seperti angkutan umum lainnya. “Kalau ilegal, bagaimana nasib penumpang yang dibawanya, minimal harus terlindung. Alangkah baiknya kalau pemerintah mengubah dulu Undang-Undang Lalu Lintasnya, mungkin sangat panjang perjalanannya, tapi kalau mengubah tidak seperti membuat baru, cukup poin tertentu saja ditambah,” kata dia.
Dedeh mengatakan, Organda tidak mempersoalkan praktek ojek online. Tapi organisasinya meminta, pelaku ojek online agar berhati-hati. “Mereka harus tahu diri bahwa mereka tidak ter-cover undang-undang. Operasionalnya jangan terlalu melebar, jangan ugal-ugalan,” akta dia.
Menurutnya, Organda sejumlah daerah sudah ada yang merangkul pelaku ojek, untuk memastikan perlindungan penumpang. Sejumlah daerah ada yang memfasilitasi agar angkutan ojek tersebut bersedia membayar premi asuransi jasa raharja untuk perlindungan penumpang. “Beberapa daerah ada yang merangkul. Seperti soal asuransi, dan pembuatan SIM kolektif. Ada yang menolak, ada juga yang nurut,” kata dia.