TEMPO.CO, Jakarta - Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) memproyeksikan pertumbuhan industri manufaktur pada semester II/2018 mencapai 4,8-5 persen, atau masih lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi yang sebesar 5,4 persen (APBN 2018).
Hal tersebut karena fluktuasi rupiah yang masih berlanjut, serta efek perang dagang yang membuat banjirnya produk industri murah dari Cina, sehingga membuat ketatnya persaingan usaha dalam negeri di tengah permintaan masyarakat yang belum kuat.
Baca juga: Indef: Pelemahan Rupiah Akan Menekan Pertumbuhan Ekspor
"Pada semester II industri manufaktur masih melanjutkan proses pemulihan, karena sejauh ini memang terjadi peningkatan kinerja industri dalam negeri," kata ekonom INDEF Bhima Yudhistira Adhinegara, Minggu, 1 Juli 2018.
Bhima menjelaskan, kinerja Industri pada semester I/2018 sudah menunjukkan perkembangan yang cukup baik. Hal tersebut ditunjukkan dari meningkatnya impor bahan baku dan barang modal.
Baca juga: Indef: Perkuat Diplomasi dengan AS dan Cina untuk Dorong Ekspor
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), impor bahan baku/penolong dan barang modal Januari-Mei mencapai masing-masing US$ 57,96 miliar dan US$ 12,63 miliar, atau lebih tinggi dari periode yang sama tahun lalu yang hanya US$ 47,27 miliar dan US$ 9,44 miliar.
Hanya saja, peningkatan impor tersebut juga mendeskripsikan ketergantungan industri dalam negeri terhadap bahan baku luar. Ditambah, dengan pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS yang membuat biaya impor kian tinggi, sehingga dapat mempengaruhi kinerja industri.
Baca juga: Industri Manufaktur Diprediksi Bakal Bergairah Usai Libur Lebaran
"Oleh karena itu, selain meningkatkan kinerja industri, penyediaan bahan baku substitusi juga masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah," kata Bhima.
INDEF berharap pemerintah dapat memanfaatkan celah dari perang dagang Amerika-Cina, terutama barang elektronik dan tekstil pakaian jadi untuk meningkatkan kinerja industri dan ekspor.
"Terutama, untuk kedua industri ini dari Cina yang tadinya sangat murah masuk ke Amerika, namun pasca perang dagang menjadi mahal, dan peluang untuk Indonesia," kata Bhima.