TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Investa Saran Mandiri, Hans Kwee yakin keputusan Bank Indonesia (BI) untuk melonggarkan kebijakan makroprudensial khususnya rasio Loan to Value (LTV) dan Financing to Value (FTV) bakal memacu pertumbuhan kredit perumahan atau KPR. Dengan relaksasi ini, tentunya juga bisa memberikan keuntungan bagi industri properti.
"Memang kalau kredit inden dicabut, itu juga bisa menguntungkan juga terutama bagi industri properti sendiri. Selain itu, relaksasi ini dilakukan juga untuk menunjukkan bahwa BI itu pro pertumbuhan dan ingin mendorong kredit perumahan," kata Hans ketika dihubungi Tempo, Ahad, 1 Juli 2018.
Baca: Bank Indonesia Beri Relaksasi Uang Muka KPR
Keputusan mengeluarkan kebijakan untuk melonggarkan rasio LTV dan FTV atau uang muka KPR ditetapkan usai BI menaikan suku bunga acuan atau BI 7-Days Repo Rate (BI 7DRR) sebesar 50 basis points (bps) menjadi 5,25 persen. Setelah adanya relaksasi ini, BI tak lagi mematok jumlah uang muka yang mesti diberikan. Nantinya, besaran LTV tetap akan ditentukan namun diserahkan kepada manajemen risiko masing-masing bank.
Menurut Hans, keputusan tersebut tentunya bisa menghidupkan sektor properti yang dianggap mati suri atau pertumbuhanya melambat sejak beberapa tahun terkahir. Dengan kebijakan ini, BI bisa mengembalikan pertumbuhan di sektor itu setelah sembelumnya dithan pertumbuhannya.
Baca: Uang Muka KPR 0 Persen, BTN: Tanggung Jawab Kurang Mengikat
Ekonom Bank Permata, Josua Pardede mengatakan rata-rata pertumbuhan kredit pemilikan rumah tapak dalam tiga tahun terakhir (2015-2017) mencapai 9,1 year on year (yoy). Jumlah tersebut melambat dari periode 2011-2014 yang tercatat mampu mencapai 19,4 yoy.
Sedangkan, rasio kredit properti terhadap total kredit perbankan tercatat relatif cukup rendah yakni sekitar 12 persen. Sementara rasio kredit properti terhadap PDB juga relatif masih rendah yakni sekitar 5-6 persen, lebih rendah dibandingkan rasio kredit properti terhadap PDB di kawasan ASEAN.
Adapun, menurut survei properti BI, rata-rata pertumbuhan indeks harga properti residensial tercatat 2,6 persen yoy. Jumlah itu menurun dari 3,7 persen yoy pada periode 2012-2014. Kemudian, data BI juga menunjukan rata-rata pertumbuhan penjualan properti residensial dalam tiga tahun terakhir (2015-2017) tercatat 12,2 persen yoy, melambat dari periode 2011-2014 yang tercatat 17,3 persen yoy.
Menurut Josua, data itu mengindikasikan bahwa permintaan kredit properti residensial masih relatif rendah padahal kebutuhan pada properti residensial tercatat masih tinggi. Karena itu pelonggaran ini diharapkan dapat mendorong sektor properti residensial yang cenderung pertumbuhannya masih stagnan dalam tiga tahun terakhir.
Selain itu, kata Josua, penerapan pelonggaran kebijakan LTV atau uang muka KPR bisa memacu permintaan kredit perbankan. Ia memperkirakan dengan bauran kebijakan ini bisa mendorong pertumbuhan kredit perbankan di kisaran 10 persen year on year (YoY) pada akhir tahun ini atau tahun depan.