TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Novani Karina Saputri, mengatakan penyebab defisitnya neraca perdagangan Indonesia adalah impor minyak dan gas (migas) naik. Menurut dia, peningkatan nilai impor migas merupakan dampak dari harga minyak dunia yang juga melonjak naik.
"Trade balance dan nilai tukar saling mempengaruhi. Oleh karena itu, pemerintah sebaiknya segera memperbaiki kondisi neraca perdagangan dengan meningkatkan ekspor, terutama di sektor nonmigas," kata Novani, dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Kamis, 28 Juni 2018.
Simak: Investasi Sektor Hulu Migas Turun 29 Persen
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, nilai ekspor pada Mei 2018 mencapai US$ 16,12 miliar, sedangkan nilai impor pada Mei 2018 mencapai US$ 17,64 miliar.
Nilai impor nonmigas hingga Mei 2018 mencapai US$ 14,83 miliar atau naik 7,19 persen dibanding April 2018. Tercatat pula impor migas bulan Mei mencapai US$ 2,82 miliar atau meningkat 20,95 persen dibandingkan dengan bulan April. Jumlah tersebut juga meningkat 57,17 persen jika dibandingkan dengan bulan Mei pada 2017.
Simak: BPH Migas Bakal Lelang 3 Ruas Pipa Gas Bumi
Karena itu, menurut Novani, pemerintah perlu melakukan perbaikan kondisi neraca perdagangan dengan meningkatkan ekspor, terutama di sektor nonmigas. Nilai neraca perdagangan yang positif dapat membantu menekan pelemahan rupiah yang tergerus akibat naiknya suku bunga The Fed.
Menurut Novani, neraca perdagangan yang defisit pada bulan ini juga disebabkan oleh beberapa faktor, seperti meningkatnya permintaan barang konsumsi akibat Lebaran dan libur panjang. Selain itu, bertambahnya nilai impor pada sektor migas yang meningkat.
"Tetapi apabila kita lihat, efek permintaan barang konsumsi tidak akan berdampak berkepanjangan karena sudah terlepas dari bulan Lebaran dan libur panjang. Faktor yang susah untuk diprediksi justru dari nilai impor migas yang sangat bergantung dengan kondisi global,” kata Novani.