TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Oke Nurwan, mengatakan masih mempelajari lebih lanjut terkait keputusan Uni Eropa untuk menunda larangan penggunaan sawit hingga 2030.
"Kami sudah paham phase out palm oil dari 2021 sudah bergeser ke 2030, yang harus kita perhatikan apakah phase outnya itu hanya palm oil, harus hati-hati jadi kita lihat," kata Oke di Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Kamis, 28 Juni 2018.
BACA:Ekspor Sawit Indonesia Tertekan karena Tinggi Tarif Impor India
Saat rapat bersama Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan, kata Oke, Luhut memberikan arahan untuk memastikan apakah keputusan tersebut juga berlaku untuk produk lain tidak hanya palm oil. "Diarahkan Pak Menteri jangan sampai itu hanya palm oil, tapi sifatnya harus tidak diskriminatif, artinya semua minyak nabati," ucap Oke.
Oke mengatakan ada kemungkinan pergeseran kriteria yang harus diperhatikan. Ia menjelaskan jangan sampai kriteria tersebut mendiskriminasikan palm oil.
"Jangan sampai kemasannya diskriminasi tidak ada tapi dari kriteria itu ternyata mendiskriminasikan palm oil," ucap dia.
Lebih lanjut, Oke mengatakan akan lebih terlibat dalam studi yang akan dilakukan Uni Eropa. "Arahan Pak Menteri untuk lebih terlibat dalam studi yang akan mereka lakukan, sehingga kami harus memastikan bahwa sawit tidak terdiskriminasi," tutur dia.
BACA:BPS: Ekspor Sawit Anjlok Akibat Kebijakan Uni Eropa dan India
Sebelumnya, Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia, Vincent Guerend menegaskan bahwa Uni Eropa sama sekali tidak akan bertindak diskriminatif, terutama terhadap sawit Indonesia. Selama ini, standar perkebunan keberlanjutan juga diberlakukan pada sumber bahan biofuel lainnya sepert jagung, hingga kedelai. "Jadi tidak hanya sawit saja," ujarnya.
Renewable Energy Directive (RED II), kata dia, sama sekali tidak melarang atau membatasi kegiatan impor minyak sawit dari negara manapun, termasuk Indonesia. Vincent menegaskan bahwa RED II merupakan dokumen yang bertujuan untuk mengatur sejauh mana biofuel tertentu dihitung oleh negara anggota Uni Eropa demi mencapai target penggunaan energi berkelanjutan di Eropa. "Jadi pasar Uni Eropa tetap terbuka untuk impor minyak sawit," kata Vincent.
Rencana penerapan RED II ini memang menuai protes di sejumlah negara terutama Indonesia dan Malaysia. Negara-negara eksportir bahan baku biofuel ke Eropa was-was jika aturan ini akan menutup pintu ekspor mereka.
Baca berita mengenai sawit lainnya di Tempo.co.