TEMPO.CO, Jakarta - Kebijakan ekonomi Indonesia dinilai emosional. Akibatnya, kebijakan lebih berpihak pada calon investor dan usaha-usaha dengan serapan tenaga kerja rendah.
Anggota DPR RI dari Komisi IV, Fraksi Partai Golkar, Firman Subagyo mengatakan, investasi memang penting bagi perekonomian. Namun kebijakan di Indonesia sekarang hanya memacu investasi tanpa mempertahankan industri yang sudah ada.
“Cepat atau lambat, ini bisa merusak perekonomian,” kata Firman, Rabu 27 Juni 2018.
Ia mengatakan, industri-industri penyerap tenaga kerja banyak justru tidak mendapat perlindungan memadai. Akibatnya, pelaku di industri itu satu per satu gulung tikar. Sementara industri yang tidak jelas kontribusinya dan rendah serapan tenaga kerjanya malah mendapat aneka fasilitas.
Ia mencontohkan sawit dan tembakau yang jelas memberikan Rp 500 triliun pada pendapatan negara dan menyerap jutaan pekerja. Tidak sekedar menyerap pekerja, kedua sektor itu bisa menampung para pekerja berpendidikan dan berketerampilan rendah.
Sayangnya, industri pada kedua sektor itu terus ditekan oleh berbagai kebijakan. Menurut dia, salah satu unsur penekan adalah pelaku industri yang amat sedikit kontribusinya pada pendapatan negara dan rendah serapan tenaga kerjanya.
Investasi baru pun tidak bisa diandalkan. Calon-calon investor hanya menanamkan modal pada industri-industri yang membutuhkan tenaga kerja berketerampilan dan berpendidikan tinggi. Akibatnya, investasi baru tidak bisa dinikmati secara merata dan meluas oleh masyarakat.
Anggota Komisi IV DPR dari Fraksi Partai Golkar lainnya Eka Sastra, mengatakan, upaya pemerintah memperbaiki iklim investasi patut diapresiasi. Meskipun demikian, ada sejumlah catatan terkait upaya itu.
Salah satunya soal memeratakan manfaat pertumbuhan untuk mengurangi ketimpangan. Ia mengapresiasi terobosan Kementerian Perindustrian soal pendidikan vokasi.
Meski bukan bidangnya, Kementerian Perindustrian mengucurkan ratusan miliar rupiah untuk pendidikan vokasi. Dengan demikian, keterampilan calon pekerja perlu ditingkatkan.
Namun, ia mengingatkan, hal itu hanya salah satu faktor. Pemerintah perlu bekerja lebih keras untuk mencegah deindustrialisasi yang sudah terjadi sejak pertengahan dekade 90-an.
Kemerosotan industri antara lain bisa dilihat di Batam, daerah yang dirancang menjadi salah satu pusat industri. Setiap tahun, paling sedikit satu pabrik berhenti beroperasi di berbagai kawasan industri.
Di luar kawasan industri, kemerosotan terlihat pada sektor galangan kapal. Dari 110 galangan dengan 250.000 tenaga kerja pada 2014, kini hanya lima galangan aktif dengan total pekerja tidak sampai 22.000 orang.